Senin, 29 Desember 2014

Akhlak Mulia Grand Shaikh Al-Azhar, Al-Imam Al-Akbar Syaikh Ahmad Thayyib, Pewaris Para Nabi

A. Syaikh yang Zuhud

Syaikh Ahmad Thayyib adalah seorang ulama yang sangat zuhud dan mengaplikasikan norma-norma agama melalui ilmu syariat dan tasawuf. Beliau menjadi salah satu pimpinan tarekat tasawuf di tanah kelahirannya di daerah Luxor setelah ayahanda beliau wafat. Sisi kehidupannya yang nyufi ini terbukti dengan beliau menyewa sebuah rumah di kawasan Nashr City dalam jangka waktu yang sangat panjang. Beliau hanya tinggal seorang diri lantaran keluarga beliau berada di Luxor.

Setelah beliau ditetapkan menjadi Grand Syaikh al-Azhar, pemilik rumah yang disewa oleh Syaikh Thayyib, menggratiskan rumah itu untuk Syaikh sembari berkata kepada beliau: “Ya Syaikh, engkau sekarang menjadi Imam Besar al-Azhar, jangankan hanya rumah sederhana ini, Anda pun berhak menunjuk sebuah fila di bilangan Tajammu’ dan saya yakin tak seorang pun yang akan menolak permintaan Anda itu.”

Syaikh Thayyib hanya menganggap pernyataan pemilik rumah itu sebagai lelucon, meskipun si pemilik rumah itu mengutarakannya dengan penuh sungguh-sungguh. Dan Syaikh Thayyib pun tetap membayar sewa rumah itu.

Seorang pakar hukum dan pengacara senior, Prof. Dr. Jabir Jad Nasshar dalam tulisannya di sebuah media lokal Mesir, membuktikan bahwa Syaikh Thayyib benar-benar orang yang jauh dari kegelimangan harta. Ia pernah dihubungi oleh salah satu konsultan Grand Syaikh al-Azhar, bahwa Syaikh Thayyib enggan menerima gaji sebagai Grand Syaikh al-Azhar, yang saat itu gaji sebagai Grand Syaikh al-Azhar mencapai kelipatan puluhan ribu pound Mesir.

Setelah hal ini dilaporkan dan dibahas dengan pemerintah, pemerintah pun mengamini bahwa Grand Syaikh al-Azhar berhak menentukan sendiri berapa gaji yang diterima. Setelah mengetahui isi perbincangan dengan pemerintah itu, sontak Syaikh Thayyib berkata: “Apakah kalian ingin memotong tanganku?” (beliau menganggap menentukan gaji sendiri sama halnya mencuri uang al-Azhar dan umat Islam). Saya tidak akan menuntut gaji dari al-Azhar. Dan saya tidak akan menentukan gaji saya dari kas al-Azhar dan kementerian agama. Memang mustahil saya bekerja tanpa bayaran, tapi saya tidak akan menuntut satu keping mata uang pun dari kas al-Azhar.”

Pada bulan April lalu, Grand Syaikh al-Azhar, Syaikh Ahmad Thayyib menerima penghargaan dan hadiah sebesar 1 juta dirham Emirat (2,5 miliar rupiah) dari Emirat Arab. Hadiah tersebut sebagai penghargaan kepada beliau yang selama ini memimpin al-Azhar yang moderat, santun dan rahmatan lil ‘alamin dalam mengemban misi Islam. Hadiah uang yang bisa untuk membangun rumah gedongan itu, langsung dihibahkan oleh Syaikh Thayyib ke bendahara al-Azhar dan langsung masuk ke kas al-Azhar.

B. Syaikh yang Penyayang

Salah seorang murid Syaikh Thayyib menuturkan: “Memang saya tak banyak bersua dengan Syaikh Thayyib, namun dalam beberapa pertemuan dengan beliau banyak pelajaran yang saya petik dari sikap beliau yang begitu sayang dan pengertian kepada murid-muridnya.

Seminggu sampai di tanah Musa ini, saya beserta rombongan teman saya yang berjumlah 23 orang mengurus administrasi agar bisa ikut test masuk kuliah yang diadakan oleh pihak al-Azhar pada tahun itu juga. Pihak senior kami bernegosiasi dengan pihak al-Azhar yang bertanggung jawab atas test tersebut.

Berjam-jam kami menunggu, hasilnya tetap sama. Kami harus menunggu satu tahun ke depan untuk bisa duduk di kampus Universitas al-Azhar, padahal kami telah menunggu satu tahun selama di Indonesia. Cekcok ringan pun terjadi antara panitia penyelenggara test dengan senior kami, secara kebetulan Grand Syaikh al-Azhar kala itu mengecek seluruh komponen kampus mulai sekolah persiapan, test masuk al-Azhar, hingga fakultas perkuliahan.

Syaikh Thayyib pun bertanya: “Ada apa kok gaduh seperti ini?”

Setelah kami semua bersalaman, akhirnya senior kami dipanggil oleh Syaikh Thayyib dan dipersilakan mengutaran unek-uneknya di kantor beliau.

Di Masyikhah, kantor Grand Syaikh al-Azhar, senior kami menjelaskan bahwa kami telah menunggu pemberangkatan ke Mesir selama hampir setahun, dan itu pun kami harus berangkat dengan uang sendiri dengan menambah beberapa juta lantaran melalui jalur visa on arrival. Sebagian besar kami hanyalah orang berkecukupan, juga sebagian dari kami berangkat dengan hasil menyebarkan proposal studi ke beberapa para dermawan. Kami pun tak diperbolehkan mengikuti test masuk kuliah di al-Azhar oleh pihak penyelenggara.

Syaikh Thayyib merasa sedih mendengar keadaan kami. Beliau pun langsung menulis nota yang berisi bahwa kami diperbolehkan mengikuti test masuk al-Azhar saat itu juga dan kami boleh tinggal di asrama dan sejak bulan itu pula kami bisa menerima uang beasiswa al-Azhar perbulannya. Padahal kami bukan mahasiswa yang dinyatakan lulus test ke Mesir melalui jalur beasiswa.

Jujur, mendengar berita baik itu, ibu saya langsung menangis seraya bersyukur sebab doa yang selama ini beliau panjatkan diterima oleh Allah. Ibu saya senang lantaran hidup saya di Mesir ditanggung oleh al-Azhar dan tidak lagi harus berpeluh-peluh bekerja.

Salah satu pertemuan saya pada kesempatan lain dengan Syaikh Thayyib yang penuh dengan kasih sayang kepada muridnya adalah pada bulan Ramadhan dua tahun lalu di masjid al-Azhar. Saat itu beliau menghadiri Khatmil Quran shalat Tarawih di masjid al-Azhar. Seusai salat, beliau mempersilakan para hadirin yang ingin bersalaman dengan beliau untuk memasuki ruangan khusus para ulama al-Azhar satu persatu dengan tertib. Saya pun masuk dan bersalaman dengan beliau.

Seusai mencium tangan beliau, saya dipersilakan untuk mengambil kue yang sejatinya diperuntukkan untuk beliau dan para ulama yang lain. Tak hanya saya, semua yang bersalaman dengan beliau juga dipersilahkan mengambil kue di depan beliau. Padahal beliau belum mencicipi satu pun kue yang kami ambil. Sungguh amat sayang sekali beliau kepada para murid-muridnya.”

C. Pemimpin yang Pengertian

Beberapa tahun terakhir ini berulang-ulang tindakan provokasi dan demonstrasi digelar yang menginginkan Syaikh Thayyib turun dari jabatannya. Tak ayal, demo pro dan mendukung semua langkah Syaikh Thayyib pun juga diadakan untuk menandingi pihak yang kontra. Diantara pihak yang pro itu adalah para bekerja Asrama Internasional al-Azhar yang biasa disebut Madinat Buust Al-Islamiyah.

Saat ditanya mengapa mereka mendukung Syaikh Thayyib, mereka menjawab dengan kompak: “Karena Syaikh Thayyib pengertian dengan hidup kami. Beliau lah yang menaikkan gaji kami hingga kehidupan kami sedikit terangkat.”

Ya, memang gaji yang mereka dapat selama bekerja di al-Azhar tidak bisa mencukupi segala kebutuhan mereka. Sampai tak jarang dari mereka yang setelah bekerja di asrama, mereka bekerja lagi menjadi sopir taksi, berjualan keliling, bekerja di toko, dll. Oleh karenanya, mereka takut bila Syaikh Thayyib diturunkan, keluarga mereka kelaparan, anak-anak mereka tak bisa mengenyam pendidikan.

Demikianlah sosok Grand Syaikh al-Azhar, Syaikh Ahmad Thayyib. Beliau adalah seorang Syaikh yang tak ingin kaya dengan ‘aji mumpung’ menjabat sebagai Grand Syaikh al-Azhar. Beliau bukanlah seorang yang gampang tertipu akan glamornya dunia. Beliau bukanlah seorang ulama yang terjebak dengan jabatan dan kenikmatan semata. Beliau bukanlah sosok yang selama ini diberitakan oleh media-media politik yang menghalalkan segala cara untuk membela dan memuluskan langkah-langkah politiknya. Beliau seorang guru yang sayang dan memperhatikan kondisi dan keadaan para muridnya. Beliau seorang pemimpin yang mengerti akan hal dan ihwal yang beliau pimpin.

d. Akhlak Syaikh Ahmad Ath-Thayyib terhadap Orang yang Memusuhinya

Para ulama al-Azhar yang istiqamah dengan manhaj al-Azhar senantiasa mengalami cacian dan celaan dari orang-orang yang tidak sejalan dengan manhaj al-Azhar yang moderat dan toleran. Grand Syaikh al-Azhar Prof. Dr. Ahmad Thayyib adalah simbol utama al-Azhar yang patut dijadikan teladan oleh umat Islam.

Di tengah kondisi politik Mesir yang tidak stabil seperti saat ini, ada sebagian kalangan yang berusaha sekuat tenaga untuk mendeskriditkan sosok Dr. Ahmad Thayyib dengan tujuan untuk melengserkan beliau dari amanah saat ini: Grand Syaikh al-Azhar. Namun, beliau sama sekali tidak pernah menyimpan dendam terhadap para pendengki tersebut, bahkan beliau membalas mereka semua dengan kebaikan. Beliau meneladani akhak ‘kakek’ beliau, Baginda Rasulullah Saw.

Inilah fakta-fakta keteladan beliau di zaman yang penuh fitnah seperti saat ini:

1. Kurang lebih setahun yang lalu, Syaikh Yusuf al-Qardhawi mengunjungi Syaikh Ahmad Thayyib. Beliau menyambut, memeluk dan memuji al-Qardhawi. Tidak lama kemudian, al-Qardhawi diwawancari oleh harian asy-Syuruq. Dalam wawancara tersebut dia mencela Grand Syaikh dan menuduh bahwa beliau tidak memiliki kapasitas untuk memimpin al-Azhar, dan tuduhan-tuduhan lainnya. Tuduhan-tuduhan tersebut telah dibantah oleh Syaikh Hasan Syafi’i yang saat itu menjabat sebagai konsultan Grand Syaikh al-Azhar.

Kemudian beberapa waktu lalu, al-Qardhawi mengulangi lagi cacian dan celaannya kepada Grand Syaikh, sehingga membuat para ulama al-Azhar tidak terima dan meminta agar keanggotaan al-Qardhawi di Dewan Ulama Senior al-Azhar (Haiah Kibar Ulama) dicabut. Namun, Grand Syaikh tetap memaafkan al-Qardhawi dan tidak setuju dengan permintaan tersebut.

2. Kurang dari setahun yang lalu, tersebar sebuah video ceramah seorang dai Salafi yang bernama Yasir Burhami yang didampingi oleh Muhammad Hassan. Di dalam video tersebut dia menuntut agar Syaikh Ahmad Thayyib dicopot dari jabatan Grand Syaikh al-Azhar. Namun, beberapa waktu setelah itu, Yasir Burhami dan rombongan Salafi mendatangi kantor Grand Syaikh untuk menyatakan dukungan terhadap al-Azhar, bersikap manis di hadapan Syaikh Ahmad Thayyib, dan berusaha menyangkal isi video yang sudah terlanjur tersebar luas di Youtube. Lagi-lagi, Grand Syaikh memaafkan dan menyambut rombongan SALAFI tersebut dengan ramah dan penuh hormat.

3. Meskipun para pimpinan Jamaah Ikhwanul Muslimin dan jamaah-jamaah Islam radikal lainnya terus-menerus mencela dan mencaci-maki Grand Syaikh al-Azhar di panggung-panggung demonstrasi. Namun Syaikh Ahmad Thayyib tidak menyimpan dendam terhadap mereka, bahkan meminta kepada pemerintah agar membebaskan tahanan politik dari kalangan Ikhwanul Muslimin dan jamaah-jamaah lainnya.

Itulah ulama al-Azhar dan itulah akhlak Grand Syaikh al-Azhar yang selama ini berusaha dikriminalisasi oleh media-media yang benci dan dengki terhadap Grand Syaikh al-Azhar Syaikh Ahmad Thayyib. Beliau senantiasa membalas keburukan dengan kebaikan, memaafkan dan mengatakan yang benar.

Sya’roni As-Samfuriy, Bogor 08 September 2013

Tanggapan Syeikh Usamah Sayyid Azhari Tentang ISIS

Syekh Usamah Sayyid Azhari, salah satu ulama besar Al-Azhar, Mesir, ditanyai pendapatnya tentang deklarasi khilafah Islamiyah yang dilakukan oleh kelompok Dawlah Islamiyah Iraq wa Syam (ISIS) beberapa waktu lalu. Beliau menjawab:

"Apakah sepanjang hidupmu kamu pernah mendengar bahwa seorang khalifah Rasulullah--yang diutus Allah menjadi rahmat bagi semesta alam--, seorang khalifah yang menggantikan Rasulullah dengan cara menumpahkan darah? Membunuh tawanan perang? Merampas dan menghancurkan daerah-daerah? Bahkan mereka berbangga memenggal manusia dan mempertontonkannya di video.

Apakah seperti ini khilafah yang menggantikan Rasulullah—yang diutus menjadi rahmat bagi semesta alam--? Ini hanya omong kosong, isu yang akan segera hilang.

Jika benar mereka ingin membela Islam, maka semestinya mereka tidak mengacungkan senjatanya ke arah kaum muslimin. Padahal di dekat mereka ada Israel yang menjajah Palestina. Kita tidak pernah mendengar mereka berkata mengenai Israel. Kita hanya mendengar mereka memberikan ancaman ke Mesir, Jordania, Saudi, Suriah, dan negara-negara lain. Mereka tidak berbicara tentang Israel, padahal musuh kita sebenarnya adalah Zionis, bukan malah saling perang antara sesama muslim.

Saya mengingatkan kalian tentang sebuah hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban bahwa Rasulullah berkata (atau dalam maknanya), “Salah satu hal yang paling saya takutkan dari umatku adalah muncul seseorang yang membaca al-Quran dan mampu mendapatkan keindahan al-Quran, bahkan ia menjadi pelindung bagi Islam, namun kemudian ia mengarahkan senjatanya ke arah saudaranya dan menuduhnya dengan tuduhan kafir....”

Orang itu tidaklah bodoh, ia telah diberikan ilmu tentang al-Quran oleh Allah hingga ia mampu mendapatkan rahasianya, bahkan ia menjadi pelindung bagi Islam karena ilmu yang ia miliki. Namun kemudian pemahamannya keliru hingga akhirnya ia menyebarkan tuduhan kafir di tengah kaum muslimin.

Dan yang lebih bahaya dari itu adalah seseorang yang memiliki sifat demikian, lalu muncul di tengah masyarakat dan memperburuk keadaan, lalu ia mengklaim dirinya sebagai khalifah pengganti Rasulullah. Ini sebuah kejahatan terhadap agama.

Maka janganlah kalian terpedaya dengan isu ini, berhati-hatilah!

Dan peringatkan rekan-rekanmu yang bisa saja terpedaya dengan panggilan-panggilan jihad semacam ini. Peperangan mereka bukanlah sebuah jihad. Tidak ada jihad melawan kaum muslim sendiri. Maka berhati-hatilah!"

-Disadur dari pengajian Arba`in Nawawi pada hari Selasa, 8 Juli 2014, dengan sedikit penyesuaian.

Kamis, 18 Desember 2014

Hukum Mengucapkan 'Selamat Natal' Menurut Prof. Dr. M. Quraisy As-Shihab

Saya duga keras persoalan ini hanya di Indonesia. Saya lama di Mesir. Saya kenal sekali. Saya baca di koran, ulama-ulama Al Azhar berkunjung kepada pimpinan umat kristiani mengucapkan selamat Natal.

Saya tahu persis ada ulama besar di Suriah memberi fatwa bahwa itu boleh. Fatwanya itu berada dalam satu buku dan bukunya itu diberikan pengantar oleh ulama besar lainnya, Yusuf al-Qaradawi, yang di Syria namanya Mustafa Al Zarka’a. Ia mengatakan mengucapkan selamat Natal itu bagian dari basa-basi, hubungan baik.

Ini tidak mungkin menurut beliau, tidak mungkin teman-teman saya dari umat Kristiani datang mengucapkan selamat hari raya Idulfitri terus dilarang gitu. Menurut beliau dalam bukunya yang ditulis bukan jawaban lisan ditulis, dia katakan, saya sekarang perlu menunjukkan kepada masyarakat dulu bahwa agama ini penuh toleransi. Kalau tidak, kita umat yang dituduh teroris. Itu pendapat.
 
Saya pernah menulis soal itu, walaupun banyak yang tidak setuju, saya katakan begini, saya ucapkan Natal itu artinya kelahiran. Nabi Isa mengucapkannya. Kalau kita baca ayat ini dan terjemahkan boleh atau tidak? Boleh. Ya toh? Boleh.

Jadi, kalau Anda mengucapkan selamat Natal, tapi keyakinan Anda bahwa Nabi Isa bukan Tuhan atau bukan anak Tuhan, maka tidak ada salahnya. Ucapkanlah selamat Natal dengan keyakinan seperti ini dan Anda kalau mengucapkannya sebagai muslim. Mengucapkan kepada umat kristiani yang paham, dia yakin bahwa anda tidak percaya.

Jadi yang dimaksud itu, seperti yang dimaksud tadi hanya basa-basi.
Saya tidak ingin berkata fatwa Majelis Ulama itu salah yang melarang, tetapi saya ingin tambahkan larangan itu terhadap orang awam yang tidak mengerti. Orang yang dikhawatirkan akidahnya rusak. Orang yang dikhawatirkan percaya bahwa Natal itu seperti sebagaimana kepercayaan umat kristen.

Untuk orang-orang yang paham, saya mengucapkan selamat Natal kepada teman-teman saya apakah pendeta. Dia yakin persis bahwa kepercayaan saya tidak seperti itu. Jadi, kita bisa mengucapkan. Jadi ada yang berkata bahwa itu Anda bohong. Saya katakan agama membolehkan Anda mengucapkan suatu kata seperti apa yang anda yakini, tetapi memilih kata yang dipahami lain oleh mitra bicara Anda.
 
Saya beri contoh, Nabi Ibrahim dalam perjalanannya menuju suatu daerah menemukan atau mengetahui bahwa penguasa daerah itu mengambil perempuan yang cantik dengan syarat istri orang. Nah, dia punya penyakit jiwa. Dia ndak mau yang bukan istri orang.
Nabi Ibrahim ditahan sama istrinya Sarah. Ditanya, ini siapa? Nabi Ibrahim menjawab, ini saudaraku. Lepas. Nabi Ibrahim tidak bohong. Maksudnya saudaraku seagama. Itu jalan. Jadi kita bisa saja. Kalau yang kita ucapkan kepadanya selamat Natal itu memahami Natal sesuai kepercatannya, saya mengucapkannya sesuai kepercayaan saya sehingga tidak bisa bertemu, tidak perlu bertengkar.
 
Jadi syaratnya boleh mengucapkannya asal akidah anda tidak ternodai. Itu dalam rangka basa-basi saja, seperti apa yang dikatakan ulama besar suriah itu.

Begitu juga dengan selamat ulangtahun, begitu juga dengan selamat tahun baru. Memang kalau kita merayakan tahun baru dengan foya-foya, itu yang terlarang foya-foyanya, bukan ucapan selamatnya kita kirim. Bahkan, ulama Mustafa Al Zarka’a berkata, ada orang yang menjual ucapan, kartu-kartu ucapan ini, itu boleh saja, tidak usah dilarang. Penggunanya keliru kalau dia melanggar tuntunan agama.

Ada orang sangat ketat dan khawatir. Itu kekhawtiran wajar kalau orang di kampung, tidak mengerti agama. Lantas ada yang mengatakan kelahiran Isa itu sebagai anak Tuhan dan sebagainya, itu yang tidak boleh. Kalau akidah kita tetap lurus, itu tidak ada masalah.