Selasa, 25 Oktober 2016

WISATA SEBAGAI PEMBELAJARAN ATAU AJANG KEREN-KERENAN?

Bagiku, wisata itu ya menikmati Alam. Melihat-lihat dunia 'asing' untuk menambah wawasan dalam mentadabburi keagungan Tuhan. Kalau orang bilang sebagai per-erat-an hubungan jika bepergian dengan teman, itu hanya nilai lebih, meskipun termasuk keutamaan. Tapi kalau cuma untuk menambah koleksi foto, itu cuma bonus.

Aku termasuk yang menganggap kamera dapat mengurangi nilai perenungan, foto bersama cuma hanya sebagai kenang-kenangan yang berupa hiasan. Terlalu matrealistis. Belum lagi kalau dihubungkan dengan keangkuhan menunjukkan kepada 'yang tidak mampu' bahwa kita telah singgah di tempat ini itu.

Penampilan apalagi, asal tak melanggar nilai 'baik-buruk' dan 'benar-salah', bagiku itu sama sekali bukan masalah besar. Soal estetika -indah tidaknya- orang-orang punya parameter masing-masing dalam menilai. Itu urusan orang yang menilai.

Selama kau menyimpan keindahan tentang alam atau kebersamaan saat sedang berwisata. Tentu itu saja sudah cukup menafkahi kepuasan bathinmu 'yang kau pikir' sedang kekurangan.

Silahkan berkamera, semahal-mahalnya, sebanyak-banyaknya, sepuas-puasnya, secantik-cantik dan setampan-tampannya. Tapi kalau kamera sampai mengganggu kualitas kenikmatan ruhani yang kau dambakan dalam berwisata atau kebersamaan dengan kolegamu.
Aku hanya bisa berkata, 'sayang sekali'.

Tulisan Curhatan, Panjang dan Tak Penting Untuk Produktivitas Kehidupan Kalian!

Nyatanya, aku memang tak pernah 'dengan sadar' berniat berbuat sesuatu supaya orang-orang tertarik sama pribadiku. Meskipun mengakui dan mengimani bahwa penghormatan begitu berarti bagi setiap manusia secara naluriah. Tapi aku tetap terus mencoba untuk tidak memberlakukan itu.

Juga aku tak pernah berniat secara sengaja berbuat sesuatu agar dipandang buruk oleh orang lain. Meskipun aku tak memiliki hak dan kewajiban apa-apa untuk menghalangi orang-orang berpikiran buruk sama pribadiku. Bagiku, ya biasa saja. Orang-orang punya parameter sendiri. Begitupun aku.

Kuakui memang, ada banyak kesalahan caraku bersosialisasi di komunitasku saat ini. Selama tiga tahun belakangan ini aku selalu menjadi orang termuda atau setidaknya dalam usia rata-rata di dalam komunitas yang aku ikut campur di dalamnya. Jadi memang sedikit banyak, ada hal yang sudah terbiasa kulakukan selama tiga tahun itu tidak sesuai dengan cara berfikir orang-orang seusiaku pada umumnya.

Selama tiga tahun pula, aku menjadi orang yang seringkali menjadi objek 'pencocokkan' oleh teman-temanku yang memang secara usia dan pengalaman lebih banyak dariku. Meskipun aku harus mengakui merasa telah membuat mereka 'menyerah' karena ternyata sedikit-sedikit aku bisa mengimbangi mereka.

Karena hal-hal semacam itu pula. Justru dalam 'perjalananku,' aku menjadi lebih sering memerankan sesuatu yang memang seharusnya tidak menjadi peran anak seusiaku saat itu. Banyak perselisihan orang-orang yang 'lebih tua' dariku yang (harus kuakui) aku merasa berhasil mengatasinya.

Positif menurutku, setidaknya saat itu. Meskipun aku banyak melewatkan pengalaman-pengalaman yang pada umumnya dirasakan oleh orang-orang sebaya. Kedewasaan berfikir yang terlalu dini dan banyaknya pengalaman yang kudapat. Membuatku merasa istimewa. Tak bisa dipungkiri, saat itu aku merasa lebih baik dari banyak orang seusiaku.

Tapi hari ini, dimulai dari beberapa bulan sebelumnya. Aku merasa jungkir balik mengikuti keadaan lingkunganku. Setelah aktif kuliah di Indonesia yang (benar kata orang) begitu membosankan, aku juga harus menjadi 'kepala suku' di kelas. Bukan ketua kelas, karena memang bukan bakatku jadi ketua kelas. Tapi menjadi yang paling tua di kelas. Yang setiap hari aku harus bersosialisasi dengan 60 orang yang usianya rata-rata 2 tahun dibawahku.

Banyak kebingungan yang kurasakan. Aku bingung melakukan pendekatan dengan kebanyakan mereka, tak ada kehidupanku saat di usia mereka yang kujalani dengan 'normal'. Aslinya aku tak tahu bagaimana cara mereka menilai sesuatu, kecuali beberapa orang. Aku meraba, mencoba memahami pola pikir mereka secara umum.
Sebagai permulaan, aku mencoba menjadi pribadi pendiam. Karena memang karakter yang paling banyak kumiliki adalah sikap dingin. Gagal. Mereka jadi seolah-olah segan/takut bermuamalah denganku. Aku tak mau itu.

Lalu aku mencoba menjadi 'orang yang bersuara', meski beberapa kali berhasil mengikuti 'budaya' mereka. Namun seringkali justru caraku berbicara dianggap mereka terlalu tinggi dan dibuat-buat. Meskipun aku berlepas diri dari pembahasan-pembahasan agama, di kelas. Aku berbicara persoalan agama hanya kepada satu orang, yang kurasa siap untuk menganilisis pemikiranku. Sisanya, aku hanya dicap sebagai orang yang sombong. Tak masalah penilaian semacam itu menurutku. Tapi, artinya aku gagal melakukan pendekatan dengan mereka.

Selanjutnya aku balik ke 'calm' kembali. Berbicara seperlunya, hanya ketika diminta dosen atau ketika memang tak ada yang sanggup menanggapi dosen. Dengannya, orang-orang menganggap aku punya nilai lebih dalam pelajaran. Sialnya, memang bukan tipeku ngajak orang untuk belajar samaku. Akhirnya aku dicap sebagai orang yang mau pintar sendiri. Padahal kuis kemarin, aku rela tak menyiapkan tugasku, karena harus mengisikan kertas teman yang sama sekali tak tahu harus mengisi apa. Lagi-lagi menurutku aku gagal melakukan pendekatan yang baik.

Akhirnya, pikirku memang sulit bagiku mengikuti 'budaya' mereka. Toh sudah dinilai buruk. Nanti juga kalau sudah lama berbaur mereka juga memahami. Lalu akhirnya mereka sendiri yang coba melakukan pendekatan denganku. Tapi memang begitu ya, budaya anak muda itu seringkali sembrono menilai seseorang lalu merasa penilaiannya lah yang paling benar.

Kemarin-kemarin aku kuliah-pulang kuliah-pulang karena ndak ikut organisasi apapun, dibilang sombong atau dahsyatnya, katrok. Hari ini aku daftar untuk gabung HMI. Mereka bilang bahaya, khawatir pemikiran agamaku jadi bermasalah. Khawatir aku dieksploitasi untuk ikut demo. Asik juga sih dikhawatiri orang-orang. Tapi mbok ya kalau mereka tahu gimana aku pernah mengkritik HMI.

Akhirnya, memang indah kehidupan ini. Akhirnya aku diberikan Tuhan kesempatan untuk mencicipi kelucuan anak-anak muda Indonesia secara dekat, tanpa jarak. Atau justru termasuk ke dalam kelucuan-kelucuan tersebut

Indah ya!

RASIS

Menghadaplah pada suatu hari, Bilal putra Rabah r.a. kepada Nabi Muhammad s.a.w. Maula berkulit hitam yang dibebaskan oleh Abu Bakar r.a. pada masa awal dakwah Nabi itu mengadukan perihal pinangannya yang ditolak oleh puak Al Bukair.[Maula artinya orang dalam perlindungan, mantan budak. Nabi meminta menggunakan istilah maula sebagai pengganti istilah ‘abd, budak itu]. Bukan bapak si gadis yang menolak pinangan Bilal melainkan saudara-saudaranya

“Ya Rasulullah, lihatlah yang aku dapatkan dari Bani Bukair. Aku meminang salah seorang putri mereka tapi mereka menolakku bahkan menghinaku. “

Nabi menenangkan Bilal tapi tak pelak dia murka mendengar keluh kesah Bilal, dan kabar tentang kemurkaan Nabi sampai pada saudara-saudara dari si gadis yang dipinang oleh Bilal. Mereka lalu mendatangi si anak gadis dan merundungnya dengan menyatakan si gadislah yang menyebabkan Rasulullah murka kepada mereka. Menjawab saudara-saudaranya, si gadis berkata, “Urusanku di tangan Rasulullah.”
Beberapa hari setelah kejadian itu, Bani Bukair menerima pinangan Bilal dan menikahkannya dengan gadis pilihannya. Begitulah Imam Al Qurthubi menceritakan dalam salah satu buku tafsirnya tentang pernikahan yang bukan saja antarras melainkan pula antarkasta, dan pernikahan semacam itu tak hanya terjadi pada Bilal.

Cerita lain adalah pernikahan Salman Al Farisi r.a. dengan salah satu putri Abu Bakar. Sama dengan Bilal, Salman adalah seorang maula. Dia berasal dari Parsi [Iran] dan setelah dibebaskan sebagai budak, Salman menjadi salah satu panglima Islam. Pengatur strategi. Salah satu idenya yang tersohor adalah membuat parit dalam Perang Khandaq. Maula yang berpostur tinggi besar dengan rambut lebat itulah yang meminang salah seorang putri Abu Bakar. Dan dia diterima.

Kisah tentang Bilal dan Salman yang menikah dengan perempuan dari bangsa, ras dan kasta yang berbeda itu, hanya sedikit contoh tentang kesetaraan manusia yang diajarkan Islam dan dipraktikkan oleh Nabi. Di buku “Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik”, Syu’bah Asa menyebut ajaran kesetaraan itu “dipaksakan” oleh Nabi untuk mendobrak kungkungan sikap rasis di abad ke-7 Masehi yang masih sangat kental di kalangan kaum Quraisy. Pada zaman itu, Bilal dan Salman bukan saja berbeda bangsa, kulit dan bahasa, tapi keduanya adalah maula, bekas budak yang diperdagangkan oleh kaum pagan.

Tentu, Nabi tidak gegabah melakukan perlawanan. Dia menyandarkan sikap dan pendiriannya pada Al Quran. Antara lain yang tercantum pada Surat Ar Rum [Roma] baris ke 22: “Di antara tanda-tanda kekuasaan Allah adalah penciptaan segala langit dan bumi, dan keanekaragaman bahasamu, warna kulitmu. Dalam hal ini, terdapat tanda-tanda bagi kalangan yang berilmu.” Ayat itu, menurut Syu’bah, merupakan pasangan dari Surat Al Hujurat baris ke-13: “Wahai manusia, Kami ciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan dan Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan berpuak-puak agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah, adalah yang paling takwa. Allah mahamengetahui.”

Dari redaksinya, bisa dipahami ayat itu berbicara bukan hanya kepada kaum Muslim melainkan kepada seluruh manusia meskipun ada penjelasan lain. Yusuf Ali [1407] menjelaskan, "dalam sebuah dunia yang sempurna, dua-duanya bisa dimengerti sebagai sinonim." Ada pun beberapa ahli tafsir menyatakan, ayat-ayat kesetaraan itu turun karena beberapa sebab [asbabun nuzul], atau kejadian-kejadian yang mendahului penerimaan wahyu. Antara lain, seperti diceritakan oleh Abu Daud dalam kitab “Al Marassil.”
Dia menuturkan, pada suatu hari, Rasulullah menyuruh Bani Bayadhah untuk menikahkan seorang perempuan dari mereka dengan Abu Hind tetapi mereka menolak. Mereka berkata, “Maula kami harus menikah dengan gadis kami?”

Peristiwa penolakan dari Bani Bayyadhah itulah yang konon menjadi penyebab turunnya ayat ke-13 Surat Al Hujurat kepada Nabi. Sebab lainnya adalah kejadian di pasar Madinah. Rasulullah sedang lewat di pasar itu ketika seorang budak dari Afrika berkata, “Siapa yang membeli aku ada syaratnya: tidak melarangku shalat lima waktu di belakang Rasulullah.”

Dia dibebaskan oleh seseorang tapi tak berapa lama si budak sakit. Nabi menjenguknya, dan ketika maula itu mati, Nabi mempimpin pemakamannya. Gara-gara semua itu, orang-orang lalu berbicara macam-macam mengenai si maula sehingga turunlah ayat itu.

Kisah ini antara lain ditulis oleh Al Nasafi dalam kitab tafsirnya. Dalam buku tafsir “Bahrul Muhit,” Abu Haiyan menceritakan, ada sebab yang lain lagi, yaitu karena kelakuan Bilal.

Pada hari pembebasan Makkah, Bilal naik ke atap Ka’bah dan melakukan azan pertama di sana tapi tingkah Bilal membuat marah Harits putra Hisyam dan Itab putra Usaid. Mereka tidak senang karena Bilal adalah maula.

Tetapi apa pun penjelasan dan cerita-cerita yang melingkupi ayat-ayat Ar Rum dan Al Hujarat itu, Nabi benar mempraktikkannya melalui perilaku dan bukan hanya kata-kata. Bersumber kepada Abu Nadrah, di kitab “Aadaabun Nufus,” Thabari mengisahkan tentang para sahabat yang menyaksikan dan mendengarkan khotbah terakhir Nabi.

Saat itu Nabi menyampaikan khotbahnya sembari duduk di atas punggung unta di Mina pada hari-hari tasyriq, salah satu dari tanggal-tanggal 11-13 Dzulhijjah. Jumlah jemaah haji diperkirakan 140 ribu orang dan bagian-bagian paling panting dari kalimat Nabi diteriakkan orang ke belakang.

“Ketahuilah olehmu wahai manusia bahwa Tuhan kalian semua adalah satu. Bapak kalian semua adalah satu. Tidak ada kelebihan apa pun pada orang Arab atas orang Parsi atau orang Parsi atas orang Arab. Tidak pula orang hitam atas yang merah atau yang merah atas yang hitam kecuali dengan takwa. Dengarlah: sudahkah aku sampaikan?” Orang-orang menjawab, “Sudah ya Rasul, engkau sudah menyampaikan dan kami telah mendengarnya.” Nabi lantas melanjutkan khotbahnya, “Hendaklah yang menyaksikan menyampaikan kepada yang tidak hadir.”

Jauh sebelum itu, pada hari pembebasan Makkah, sewaktu Nabi melakukan tawaf, dia juga berbicara tentang pentingnya tidak mengungkit-ungkit masalah ras. “Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan dari kalian aib jahiliah dan sifat takaburnya. Saudara-saudara, sesungguhnya manusia itu hanya ada dua: mukmin yang takwa dan mulia dalam pandangan Allah, dan pendosa yang celaka dan hina dalam pandangan Allah.”

Menyandarkan pada sahih Muslim, Qurthubi bahkan memuat pernyataan Nabi yang menyangkut nasabnya. Dari hadis Abdullah putra Amr dikisahkan, “Aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda dengan suara keras, bukan lirih, bahwa ‘sebenarnya keluarga [aal] ayahku bukan para pelindungku. Ada pun pelindungku hanya Allah dan para mukmin yang saleh’.”

Dari pernyataan itu, dalam dimensi kenabian yang hanya sepenggal, Rasulullah jauh-jauh hari telah melepaskan diri dari kedudukan sebagai manusia klan dan masuk ke kedudukan manusia Islam. Dan manusia Islam atau Muslim adalah manusia yang menghargai perbedaan asal-usul, bangsa, ras, bahasa, dan bahkan keyakinan. Manusia yang tidak rasis. Wallahu ‘alam.
#khotbahjumat

-RUSDI MATHARI-FACEBOOK-

The Power Of Malming

Setelah melakukan pengamatan yang cukup mendalam. Bahwa malam minggu dapat mengakibatkan 'terjadinya gangguan psikologis' bagi para -maaf- jomblo adalah mereka menganggap bahwa bahagia itu mesti berpasang-pasangan.

Padahal mereka aslinya cukup bahagia, ketika ada satu-dua kolega yang 'curhat' bahwa berpasangan juga dapat mengakibatkan 'terjadinya gangguan psikologis' juga.

Tapi memang, apa yang terjadi di malam minggu itu. Bagi para -maaf- jomblo, wajar saja rasanya mendapat tekanan bathin ketika melihat ribuan pasang badan yang saling berdempetan di 'jalanan'.

(BUKAN) SURAT UNTUK ADIK

Begini toh, dik. Apa ndak sayang waktu yang kita lalui ini hanya terlewati begitu saja, tanpa bertambahnya pengetahuan kita tentang pelajaran sekolah, wawasan kita tentang kebudayaan; cinta kita kepada sesama, hormat kita kepada orang tua, motivasi untuk selalu berbuat baik, pemahaman-pemahaman agama yang dengan 'sempit'nya kita jadikan pembenaran kita untuk membenci 'sesuatu'.

Oh, ayolah dik. Apa tak bosan-bosan dirimu menuliskan sesuatu yang akhirnya nanti akan berdampak buruk untuk kehidupanmu, karena yang kau tulis hari ini di dinding facebookmu adalah umbaranmu tentang aib-aibmu sendiri, aib-aib keluargamu, teman sejawatmu, atau bahkan guru-gurumu. Sia-sia dik, sia-sia. Justru akan menjadi 'kesialan' tersendiri untukmu nanti.

Dik, ini tidak serumit pikiranmu, bahwa aku menasehatimu karena aku merasa lebih baik. Bukan itu, dik. Kita sedang hidup bersama di zaman yang tak bisa memberi kita sesuatu yang bermanfaat tanpa kita 'berjuang' sendiri menjemputnya. Kita pernah sepakat, bahwa sistem pendidikan kita terbelakang, tapi kenapa justru aku tak melihat kau pernah memegang buku? Atau justru membuat 'kerusuhan' karena memposting foto-foto yang tak pantas kalian sajikan?

Dik, ini tentang kepedulian, tentang kasih sayang. Sesederhana itu, dik. Tak ada yang pantas merasa lebih baik dari yang lain saat ini. Semua harus saling menuntun, bukankan kenikmatan yang luar biasa adalah kita saling bergandengan tangan dan berjalan bersisian?

Tak ada yang memintamu untuk bersaing, dik. Kebaikan hanya akan muncul hanya kita saling membantu, dik. Berkolaborasi untuk menciptakan manfaat untuk orang lain.

Kurang banyak apalagi kritikan untuk orang-orang seusia kita, dik. Degradasi nilai yang setiap hari kita pamerkan, sudah menjadi perhatian dunia. Tidakkah seharusnya kita malu, dik? Atau justru bangga dengan ketertinggalan? Lalu berteriak kepada mereka, 'urus urusanmu sendiri'? Begitu, dik? Jangan, dik. Jangan lakukan itu.

Bangsa dan negara ini menggantungkan semua 'nasib' masa depannya kepada kita, dik. Harusnya kita berbangga. Ada orang yang mempercayai kita, dik. Maukah kau, anak-cucu kita nanti justru menjadi korban atas kelalaian masa muda kita, dik? Jangan tiru mereka, dik. Orang-orang yang tek pernah memperhatikan kita, jangan tiru mereka, dik.

Rajinlah belajarlah, dik. Kalau keadaan mengharuskanmu untuk 'nakal', nakallah seperlunya, dik. Nakallah terhadap sesuatu yang kau pikir tak pantas ada di dunia ini. Nakallah dengan mengobrak-abrik sistem yang telah menghancurkan kita selama ini, dik. Nakallah dengan ilmu, dik. Nakallah.

Sekiranya kau tahu, dik. Tak ada kesedihan yang pantas lebih ditangisi dari nasib yang kita terima ini, dik. Tapi kau kuatkanlah jiwamu, tahan tangismu. Berpikirlah untuk berbuat sesuatu supaya tak ada lagi yang harus ditangisi. Atau menangislah kau, dik. Menangislah dengan marah. Airmata kemarahan justru bisa menjadi pemicu semangat yang tiada tara, dik.

Begitupun, rajinlah kau berdo'a, dik. Karena sekiranyapun usaha-usahamu nanti tak berbuah hasil yang banyak dan dilupakan orang. Masih ada 'satu hal' yang akan menjadi tempat paling aman untuk berharap, dik

ATAS NAMA CINTA

Atas nama cinta, kau teguk racun.
Sebegitu hina cinta yang kau pahami.
Kau tertekan, cinta yang kau salahkan.
Padahal semua tentang bagaimana kau cara kau memahami itu cinta.


Atas nama cinta, kau tancapkan pisau di punggung sahabatmu.
Sedangkal itukah pemahamanmu atas cinta?
Kau tersakiti, cinta yang kau permasalahkan.
Padahal semua tentang bagaimana kau menyikapi bagaimana itu cinta.

Atas nama cinta, rela kau membunuh rekan study tourmu.
Duh, bodohnya dikau memahami cinta.
Kau salah pilih, cintalah sasaran utama kemarahmu.
Padahal semua tentang kesalahkaprahanmu terhadap siapa kau berkata cinta.

Atas nama cinta, kau jilat muntahan binatang peliharaanmu.
Atas nama cinta, kau pijak-pijak martabat gurumu.
Atas nama cinta, kau pukulkan kayu di pundak anak-anakmu.
Atas nama cinta, kau todongkan senjata di jidak ibumu.

Atas nama cinta, kau caci maki Tuhanmu.