Malam tadi setelah bercerita-cerita tentang ayah seorang teman saya
yang mendapatkan hadiah emas dari perusahaan atas pengabdian 25 tahun
kerjanya. Sampai kepada pertanyaan saya kepada seorang teman, "gimana
kalau kau kira-kira dapat emas 2 batang yang di tempat yang sama ada
alamat yang punya, kau apakan emas itu?"
Dia menjawab, "menurut hati nuraniku kubalikkan emasnya." Mendengarkan jawaban seperti itu saya diam saja, hampir tak mengeluarkan ekspresi apa-apa. Seperti seolah-olah tek pernah bertanya apapun.
Dia menjawab, "menurut hati nuraniku kubalikkan emasnya." Mendengarkan jawaban seperti itu saya diam saja, hampir tak mengeluarkan ekspresi apa-apa. Seperti seolah-olah tek pernah bertanya apapun.
Tapi dia melanjutkan, "mana tau yang punya emas punya anak cantik
yakan? Kan bisa aku dinikahkan sama anaknya, jadi tinggal nunggu
bapaknya mati saja."
Mendengar itu kami tertawa, meski semua kami tahu bahwa itu yang akan dikatakannya.
Ya kami tertawa saja seperti lelucon biasa. Itu manusiawi. Pada hal-hal semacam itu anda tak perlu mencaci maki siapapun. Siapa yang tahu bahwa jika benar terjadi dia malah benar-benar ikhlas mengembalikannya.
Hal-hal seperti ini banyak terjadi diantara kita. Dan dengan egoisnya kita selalu merasa lebih baik dan akan melakukan hal-hal yang lebih benar. Padahal siapa yang tahu, bahwa otak kitalah sebenarnya yang paling busuk.
Mendengar itu kami tertawa, meski semua kami tahu bahwa itu yang akan dikatakannya.
Ya kami tertawa saja seperti lelucon biasa. Itu manusiawi. Pada hal-hal semacam itu anda tak perlu mencaci maki siapapun. Siapa yang tahu bahwa jika benar terjadi dia malah benar-benar ikhlas mengembalikannya.
Hal-hal seperti ini banyak terjadi diantara kita. Dan dengan egoisnya kita selalu merasa lebih baik dan akan melakukan hal-hal yang lebih benar. Padahal siapa yang tahu, bahwa otak kitalah sebenarnya yang paling busuk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar