Kita ini bangsa uring-uringan, ganas, pemarah. Melihat sesuatu yang
tak sejalan dengan kepentingan kita, seolah kita lepas kendali, memaki
sana-sini, tak penting apa sebenarnya yang terjadi, yang penting
bagaimana caranya supaya keinginan kita terwujud. Munafik.
Bagaimana bisa kita mengaku mencintai negeri ini, kalau kita masih sangat membenci (dalam artian, menganggap salah semua yang dilakukan) orang-orang yang memiliki kewenangan mengurusi negara ini? Terlebih lagi jika kebencian itu timbul justru bukan karena keputusan yang mereka lakukan melainkan kebencian yang tercipta karena yang memutuskan adalah orang yang berbeda partai politik dengan kita. Kurang munafik apalagi kita ini?
Bagaimana bisa kita mengaku mencintai negeri ini, kalau kita masih sangat membenci (dalam artian, menganggap salah semua yang dilakukan) orang-orang yang memiliki kewenangan mengurusi negara ini? Terlebih lagi jika kebencian itu timbul justru bukan karena keputusan yang mereka lakukan melainkan kebencian yang tercipta karena yang memutuskan adalah orang yang berbeda partai politik dengan kita. Kurang munafik apalagi kita ini?
Setiap
hari, kebanyakan umat islam dari kita ini mengaku mencintai Nabi
Muhammad. Merasa paling harus mengikuti hampir setiap perlakuan Nabi
Muhammad yang biasa diistilahkan dengan kata "Sunnah". Tapi untuk tetap
mampu berlaku adil kepada -yang kita anggap- musuh saja hampir tak
pernah terpikirkan.
Bahkan seharusnya, jika ada orang yang menghina-hina Nabi Muhammad hari ini. Kita masih harus menahan diri untuk marah-marah. Yang wajib kita lakukan pertama kali adalah mencari tahu mengapa ia melakukan itu. Kalau ternyata penyebabnya adalah karena ketidaktahuannya terhadap sosok Nabi Muhammad yang sesungguhnya, kewajiban kita berubah menjadi memperingatkan kesalahannya, dan menjelaskan kesalahpahamannya tersebut. Saya rasa begitu nasihat yang terkandung dalam ayat "berdakwahlah dengan hikmah dan mauidzah hasanah." Lain lagi halnya jika 'hinaan' tersebut justru lahir dari kesengajaan yang dilakukan oleh orang yang benar-benar ingin mengolok-olok Nabi Muhammad, padahal ia tahu bagaimana mulianya sosok tersebut. Silahkan lakukan tindakan-tindakan tegas, yang tentu saja tidak melanggar etik agama dan kemanusiaan.
Seharusnya jika benar-benar mengaku mencintai dan menjadikan Nabi Muhammad sebagai tauladan di segala lini kehidupan kita mestinya benar-benar mempelajari kisah-kisah 'dahsyat' tentang 'kerahimannya' kepada sesama, tentang ke-rahmatan lil 'alamin-annya. Lagi-lagi, tentang hal ini kita juga terindikasi mengandung kemunafikan dalam diri kita.
Ah, apalagi kalau melihat kita ini seringkali dijadikan alat politik kalangan tertentu. Rasanya kok nyesek sekali. Belum lagi tentang citra kita sebagai umat islam yang kian hari-kian buruk di mata 'orang-orang luar'.
Saya lebih suka mengakui bahwa secara umum kita ini masih bodoh. Tapi sikap kita yang seolah-olah memahami segala hal ini. Membuat saya merasa hanya boleh mengatakan kalau kita ini munafik.
Jangan tersinggung, kata-kata ini hanya dikatakan oleh orang yang selama ini seringkali dicap munafik oleh orang-orang 'yang entah siapa'. Jadi, anggap saja ini sebuah pengakuan. Atau lebih mudahnya, jangan merasa termasuk di kata "kita".
Semoga Allah tetap berkenan menunjukkan kita jalan yang lurus, meskipun kita ini adalah seorang munafik.
Bahkan seharusnya, jika ada orang yang menghina-hina Nabi Muhammad hari ini. Kita masih harus menahan diri untuk marah-marah. Yang wajib kita lakukan pertama kali adalah mencari tahu mengapa ia melakukan itu. Kalau ternyata penyebabnya adalah karena ketidaktahuannya terhadap sosok Nabi Muhammad yang sesungguhnya, kewajiban kita berubah menjadi memperingatkan kesalahannya, dan menjelaskan kesalahpahamannya tersebut. Saya rasa begitu nasihat yang terkandung dalam ayat "berdakwahlah dengan hikmah dan mauidzah hasanah." Lain lagi halnya jika 'hinaan' tersebut justru lahir dari kesengajaan yang dilakukan oleh orang yang benar-benar ingin mengolok-olok Nabi Muhammad, padahal ia tahu bagaimana mulianya sosok tersebut. Silahkan lakukan tindakan-tindakan tegas, yang tentu saja tidak melanggar etik agama dan kemanusiaan.
Seharusnya jika benar-benar mengaku mencintai dan menjadikan Nabi Muhammad sebagai tauladan di segala lini kehidupan kita mestinya benar-benar mempelajari kisah-kisah 'dahsyat' tentang 'kerahimannya' kepada sesama, tentang ke-rahmatan lil 'alamin-annya. Lagi-lagi, tentang hal ini kita juga terindikasi mengandung kemunafikan dalam diri kita.
Ah, apalagi kalau melihat kita ini seringkali dijadikan alat politik kalangan tertentu. Rasanya kok nyesek sekali. Belum lagi tentang citra kita sebagai umat islam yang kian hari-kian buruk di mata 'orang-orang luar'.
Saya lebih suka mengakui bahwa secara umum kita ini masih bodoh. Tapi sikap kita yang seolah-olah memahami segala hal ini. Membuat saya merasa hanya boleh mengatakan kalau kita ini munafik.
Jangan tersinggung, kata-kata ini hanya dikatakan oleh orang yang selama ini seringkali dicap munafik oleh orang-orang 'yang entah siapa'. Jadi, anggap saja ini sebuah pengakuan. Atau lebih mudahnya, jangan merasa termasuk di kata "kita".
Semoga Allah tetap berkenan menunjukkan kita jalan yang lurus, meskipun kita ini adalah seorang munafik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar