Senin, 28 November 2016

Memuliakan Penghina, Mungkihkah?

Maaf saja, serendah apapun orang-orang merendahkan islam sebagai agama, bagiku islam tetap berada di puncak kesempurnaan. Adapun yang merendahkan hanya akan kuanggap sebagai orang yang tidak tahu. Dan kalaupun sanggup, akan kucoba memberi tahu. Kalau tidak, akan kuajak mencari tahu bersama.

Maaf saja, kalau ada orang-orang yang berharap bahwa aku juga akan merendahkan ajaran agama lain. Maka ia memiliki harapan yang salah. Masa-masa menghina sudah kulewati, bahkan bukan hinaan yang bentuknya balasan. Pernah kujalani waktu yang dengan bangganya aku memulai menghina ajaran dan tuhan agama lain. Benar saja, hampir tak pernah ada kebaikan yang kuterima.

Bagiku, kemunduran islam dalam perannya membangun peradaban manusia yang beradab saat ini tidak bermula dari ajaran islam itu sendiri. Islam selalu memberikan anjuran, jalan, kisi-kisi untuk menuju kepada kesempurnaan. Adapun hal-hal yang menjadikan ia mengalami kemunduran adalah orang-orang islam itu sendiri. Terlebih kalau pembahasan-pembahasan keagamaan islam yang acapkali disalahgunakan untuk kepentingan kelompok tertentu.

Kalau ada dari orang-orang islam yang ingin menunjukkan kepada dunia bahwa islam adalah ajaran barbar, kejam. Maka aku akan tetap mengkampanyekan bahwa islam adalah ajaran yang welas asih. Kalau ada orang di luar islam yang menganggap bahwa islam adalah ajaran kekerasan. Maka aku akan menunjukkan kepada mereka bahwa islam adalah ajaran kelembutan.

Kalau saat ini orang-orang yang dianggap ulama dan terus 'diangkat-angkat' ke publik adalah ulama yang acapkali mengeluarkan kata-kata kasar. Aku akan 'mengenalkan' kepada mereka orang-orang yang kuanggap ulama tapi memilih 'majhul' dari dunia yang mengajarkan islam dengan cara yang dipenuhi oleh kerahmatan.

Kalau orang-orang merasa berhak untuk merasa paling benar dengan cara merendahkan orang lain. Maka aku akan tetap menjadi orang lain itu, meski aku satu-satunya di dunia dan dikelilingi oleh keangkuhan mereka. Dan takkan kuhinakan mereka, cukup bagiku menganggap itu adalah perbedaan cara pandang yang akan menjadi sebuah kenikmatan kalau didiskusikan dengan perasaan yang lapang.

Bersama, Kita Lebih Baik

Jangan mau diracuni. Kalau orang-orang islam diejek-ejek, dilecehkan oleh orang-orang kristen di sebagian tempat di dunia ini. Perhatikanlah di sekelilingmu, bagaimana hubunganmu dengan tetanggamu yang kristen. Adakah selama ini kalian memiliki masalah yang berarti? Kalau sudah berpuluh-puluh tahun kalian hidup rukun, tapi malah harus saling caci maki karena masalah Jakarta yang dibawa-bawa ke kampung. Percayalah, orang-orang yang mencoba mengadu domba kalian itu telah berhasil.

Jangan mau diracuni. Kalau tindakan-tindakan tidak manusiawi yang diterima oleh saudara-saudara muslim kita di Myanmar menyesakkan dada kalian. Jawaban untuk itu telah selesai di diri dan lingkungan hidup kalian sendiri. Kalau kalian berpikir itu adalah tindakan yang dihasilkan oleh ajaran Budha. Semua bisa terbantahkan dengan menilai sendiri bagaimana selama ini kalian hidup berdampingan dengan orang-orang budha di tempat tinggal kalian.

Kehebohan Jakarta itu telah mengajarkan kita bahwa kita masih rentan di adu domba, bahwa masih ada sebutir-dua biji kebencian terhadap kelompok lain di luar kita, bahwa kita masih bisa diperalat untuk memuluskan jalan orang-orang rakus mencapai tujuannya.

Sedang Myanmar, kita memang patut bersedih. Itu tindakan biadab yang sangat tidak manusiawi. Saya yakin, siapapun yang masih memiliki rasa kemanusiaan di dalam dirinya bersedih melihat keadaan kaum Rahingya. Mau itu Islam, Kristen, Budha, Hindu, Komunis, Kanan, Kiri, atau apapun, kalau ia 'manusia,' tak mungkin ia setuju terhadap tindakan itu. Kita harus sama-sama menyuarakan keadilan, ini bukan hanya tentang penindasan Umat islam, ini kejahatan kemanusiaan.

Marah-marah itu biasa. Tapi ketika genggaman telah dilepaskan, maka tangan-tangan itu akan memiliki kesempatan untuk saling memukul. Kalau kalian merasakan ada sesuatu yang salah, bicaralah, katakan kepada mereka apa sebenarnya yang benar. Bicaralah sekuat dan sekencang-kencangnya, tapi jangan jadikan itu pemutus persaudaraan, jangan jadikan itu penghancur barisan kita yang kokoh sejak ratusan tahun.

Saling merangkullah, kau tahu sendiri mana sebenarnya yang bisa membuat kita lebih kuat.

Pendidikan dan Akhlak

Kata Imam Ali alaihisalam tentang akhlak dalam keilmuan, beliau memberikan contoh pendidikan ibu dan anaknya. Beliau mengingatkan untuk tidak menggunakan kefasihan yang kita miliki dalam berbicara untuk memenangkan argumen dengan ibu kita yang ialah manusia pertama kali yang mengajari kita berbicara. Jika tidak, kita akan kehilangan keberkahan dalam ilmu tersebut. Atau justru akan mendatangkan penyakit batin.

Belakangan yang menjadi masalah pendidikan kita hari ini adalah akhlak. Anak-anak sama sekali tak menghormati gurunya, yang karenanyalah ia terlepas dari belenggu kebodohan. Terlepas dari kenyataan bahwa memang kita hidup di zaman yang profesi guru bisa dijadikan lapak utama mencari nafkah, yang seringkali mengakibatkan nilai pendidikan menjadi bias.

Bahwa akhlak harus selalu dikedepankan daripada ilmu adalah sebuah keharusan. Adanya akhlak dalam diri seseorang masih memungkinkan untuk dapat menyerap ilmu. Sedang ilmu yang tanpa diikuti akhlak hanya akan menciptakan kepongahan dan kesombongan.

Akhirnya, ini adalah tugas kita bersama. Bagaimana kita bisa menanamkan akhlak pada diri kita dalam proses mencari ilmu. Begitu pula bagaimana kita selalu mencerminkan akhlak kita dalam proses penyampaian ilmu. Pun dalam diskusi dan perdebatan.

Dan apa-apa yang terjadi belakangan akibat racun dari Jakarta yang telah merusak moral kita sebagai bangsa yang berkebhinekaan cukuplah menjadi pelajaran. Cukuplah marah-marahnya, cukuplah saling menghinanya, cukuplah caci-makinya. Mari kita citrakan kembali, bahwa Indonesia adalah kiblat adabnya dunia.

Ulama, Ia Yang Mengasihi

Mengikuti Gus Mus, saya percaya bahwa ulama itu adalah orang-orang yang melihat (keadaan) umat dengan kacamata rahmah (welas asih). Itu pula yang menyadarkan saya bahwa sikap-sikap ulama yang saya idolakan mampu bersikap legawa ketika selama ini difitnah dari segala arah, dicaci dari segala sudut, sesuai dengan pribadi mereka sebagai ulama.

Seringkali yang terucap dari mereka ketika diminta oleh orang-orang dekat mereka untuk mengklarifikasi atau membela diri dari berbagai macam fitnah adalah, "tak mengapa, anggap saja mereka orang-orang yang tidak tahu. Do'akan saja semoga Allah memberikan hidayah kepada mereka."

Jadi memang, saya percaya bahwa Indonesia akan baik-baik saja selama ulama-ulama semacam itu masih banyak tersebar di seluruh sudut negeri ini dan masih dicintai oleh mayoritas umat islamnya.

Untuk itu, saya berdo'a semoga Allah senantiasa melindungi para ulama kita dari berbagai macam fitnah dan menjaga kesehatan mereka sehingga dapat terus mengabdikan hidupnya untuk persatuan bangsa yang takkan bisa terwujud tanpa adanya tali rahmah antar sesamanya. Bukan hanya sesama muslim. Tetapi sesama bangsa Indonesia. Sesama manusia.

Selaraskan Niat dan Kelakuanmu!

Berbuih kau berbicara tentang keagungan Islam. Tapi yang kau lakukan justru mengkerdilkannya. Pernahkah kau setidaknya berpikir dampak terhadap apa yang kau lakukan: Berapa banyak orang akan saling membenci, berapa mualaf yang mulai meragukan pilihannya, berapa murtadin yang mensyukuri 'perpindahannya'.

Kau seringkali mengatakan kaulah yang paling memahami Islam. Tidakkah kau mengingat bahwa perbedaan adalah rahmat? Bagaimana bisa kau merasa yang paling paham tentang sebuah ajaran, tetapi tak bisa menerima perbedaan yang termasuk di dalam ajaran tersebut.

Ingatlah, kepada berapa ratus orang kau berkata bahwa islam adalah yang menebar kasih bagi sekalian alam? Kau pikir berapa banyak di antara mereka yang mempercayai itu, sedang yang kau lakukan justru menjadi penyebab perpecahan. Bisa-bisanya kau mengatakan akan memberikan mereka madu padahal yang kau berikan adalah racun.

Berhentilah, kawan. Rapikan kembali niatmu. Aku yakin apapun yang kau perjuangkan saat ini, berangkat dari niat yang baik. Tapi, bukankah sebuah kecelakaan apabila kebaikan yang kau harapkan justru melahirkan lebih banyak keburukan?

Aku menghargai kegigihanmu. Aku salut akan semangat keagamaan yang berkobar di dirimu. Tapi aku juga menyayangimu. Dan untuk itu, aku akan tetap mengingatkanmu, meski suatu saat nanti kau menganggapku musuhmu. Kau akan tetap menjadi saudara bagiku.

Antara Cinta dan Rasanya Mencinta

Aku sendiri melawan duka; melihatmu tertawa.
Percaya kepada cinta itu niscaya: aku mengikuti kata hatiku yang tertuju padamu.
Aku yakin ini ada hubungannya dengan politik. Kau raih aku dengan perhatianmu.
Sehingga orang-orang memperhatikanmu. Dan aku tertinggal, jauh.

Tapi tak mengapa, kalau aku mau, tinggal kukatakan saja pengalamanku denganmu.
Toh orang-orang akan percaya padaku: tentang kemunafikanmu.
Kejayaanku memang kau curi, salahmu sendiri kenapa kau tak buru-buru membunuhku.
Sekarang aku tahu, dan ketahuanku ini senjata yang paling sulit kau lawan.

Tapi akukan baik, sebaik aku menerimamu tanpa berpikir kau akan berkhianat.
Toh gagasanku bisa kuciptakan dengan lebih baik lagi.
Sayang sekali kau begitu cepat meninggalkanku; kalau tidak, sudah kuberikan semuanya padamu. Kebaikanku, akan kukatakan kepada dunia bahwa aku mendukungmu.

Cukupkan? Kau tetap bisa berjaya dengan keringatku ditambah kau mendapat dukunganku.
Tenang saja, ini bukan strategi sebagaimana kau mengenalku yang diam-diam makan dalam. Ini tulus.

Aku hanya akan menunggumu merasakan menjadi aku.
Aku tahu, hal itu tak pernah terpikirkan olehmu.
Dan nanti, ketika itu terjadi, kau akan kembali kepadaku.
Tentu saja, kau tahu hanya aku yang akan menerimamu.
Janjiku; aku mengajakmu menonton panggung pertunjukan orang yang mencuri itu, lalu mendengarkanmu bercerita bagaimana rasanya menjadi pihak yang dikhianati.

Demo 212

Pertama, ini patut kita syukuri karena kita tahu bahwa kesadaran umat islam tentang kecintaannya terhadap agama mulai tampak secara luas, yang saat ini diberi jalan dengan metode pembelaan. Terlepas dari perdebatan mana seharusnya yang pantas dibela, apakah agama yang membela kita atau justru sebaliknya, seperti yang terjadi hari-hari ini.

Kedua, patut pula dipahami oleh orang-orang yang tidak setuju terjadinya demo 212 mendatang. Bahwa ini adalah perbedaan persepsi, cara pandang yang berbeda di antara kita. Kalau ada yang merasa memahami situasi yang terjadi sebenarnya. Silahkan ingatkan saudara kita yang mengikuti kegiatan itu. Tentu dengan cara yang baik-baik demi meminimalisir terputusnya silaturahmi. Karena mau tidak mau kita mesti percaya bahwa banyak orang yang akan terjun kesana berangkat dari ketulusan cintanya terhadap agama.

Ketiga, harus kita tanamkan pula pada diri kita sebagai masyarakat. Bahwa tolok ukur kesejahteraan sebuah negara itu bersandar pada kegiatan hidup masyarakatnya, yang berarti itu kegiatan hidup kita. Bagaimana caranya kita membangun kesejahteraan bersama tetapi kita masih menyimpan benci terhadap tetangga kita? Itu meski kita pikirkan baik-baik. Urusan bahwa kegiatan tersebut rentan disusupi pihak-pihak yang memiliki kepentingan memecah belah. Cukup kita halau dengan membangun kesadaran bersama bahwa kita adalah bangsa yang mencintai keberagaman, mencintai segala perbedaan.

Keempat, bahwa TNI kita adalah termasuk kepada barisan kemiliteran terbaik di Dunia. Prasangka baik bahwa mereka dapat menjalankan tugas untuk mengamankan negara dari kepentingan negara-negara lain yang ingin menghancurkan kita haruslah kita bangun di dalam diri kita. Tentu itu akan menjadi sia-sia kalaulah masyarakatnya terpecah belah. Kita harus bersatu, pasti kita akan memiliki kekuatan yang besar untuk bertahan jika berjuang bersama-sama. Ingat itu. Pasti.

Terakhir, kita mesti memaklumi segala perbedaan pendapat. Memang, selalu ada kepentingan politik. Tapi kita menghargai mereka, sebagaimana kita membanggakan demokrasi. Karena apa yang akan mereka lakukan dijamin kebebasannya oleh demokrasi.

Kalaupun usaha-usaha kita sudah kita lakukan. Apa yang kita pahami telah kita sampaikan. Karena saya yakin, sebagaimanapun kalian berjuang mengingatkan mereka. Selama itu berkaitan dengan kepentingan politik. Mereka tetap akan melakukannya. Baiknya, kita berdo'a agar negeri ini baik-baik saja. Dan keburukan-keburukan yang ada di pikiran kita tidak menjadi kenyataan.

Sabtu, 19 November 2016

Karena Cinta Berarti Gila

Memang, jarak kita membentangi samudera.
Suaramu, bahkan berdengung di ponselku.
Tapi hati, memanglah betapa luas kuasa Tuhan.
Tak pernah sedetikpun tak merinduimu.

Mungkin, adakalanya kau tertarik pada tiang-tiang baru yang kau temui.
Tapi, betapa pintuku akan terlalu egois untuk menolakmu datang kembali, itupun kalau.
Sungguh, kalaupun kau ternodai, akulah yang akan menjadi pasir penyucimu.
Kalau kau berdarah, akulah kapas pembersihmu yang rela kau buang dimana saja.

Meski suatu saat nanti aku berjalan dan menemuimu bersandar di pundak yang lain.
Aku akan siap mengepakkan dadaku, kalau saja pundak itu tak kuat menahan sandaranmu.

Sayang, orang akan berkata aku gila.
Biarkan saja, tak mengapa aku dikata gila.
Tak usah kau pedulikan bagaimana rasa yang kutanggung, yang penting kau bahagia.

"Ulama"

Walah, mbok ya jangan menghina ulama toh. Sikap husnudzan ulama-ulama itu besar. Orang datang mengajak kebaikan InsyaAllah langsung mereka sambut dengan antusias, yang sayangnya seringkali dimanfaatkan oleh orang-orang licik.

Berbeda pendapat ya silahkan, asal jangan saling melempar hinaan. Dan pendapatnya bisa dipertanggung-jawabkan. Toh sejak dulu perbedaan di kalangan ulama juga banyak, kan? Alah, semua yang mengaku pelajar muslim tentu tahu itu.

Soal standarisasi ulama itu setiap orang punya standarnya masing-masing toh. Kalau saya lebih menekankan ulama bukan hanya yang menguasai banyak kitab. Bukan sekedar yang lebih sering mengucap "takbir" lalu disambut "Allahu Akbar" dengan suara yang super nyaring. Pokoknya ulama yang saya kagumi itu semacam Habib Ali Jufri itulah. Itu standar saya ya, yang tak akan saya promosikan ke siapa-siapa. Kalau standar anda berbeda ya silahkan, asal kita tetap saling menyayangi.

Jadi wajar saja kalau kita berbeda pendapat karena panutan kita yang 'berbentuk' ulama juga berbeda. Kalau ada nantinya yang menurut anda ulama tapi menurut saya tidak. Ya terima saja. Saya juga insyaAllah akan begitu ketika siapa yang saya anggap ulama justru anda anggap kafir. Biasa saja. Itu urusan anda nanti dengan dia dan Dia.
 
Nah, apalagi kalau kita sepakat dengan beberapa ulama yang sama, namun berbeda pendapat. Yang akhirnya juga akan membuat kita berbeda pendapat juga. Ya jangan jontos-jontosan, justru seharusnya itu sebuah hal yang patut disyukuri karena menandakan bahwa memang ulama yang kita kagumi itu dapat menelurkan keluasan ilmunya. Dan tetap kita harus saling menyayangi.

Kata 'kenal' itu ada karena memang aslinya kita berbeda. Yang berarti seharusnya kita tak punya waktu jeda untuk saling mengenal satu sama lain. Lalu saling menyayangi dan melimpahkan saya kita ke orang lain lagi. Begitu seterusnya, sampai kepada misi kita yang Rahmatan Lil Alamin.

Purnama Membisik, Aku Mendapat Cinta

Gegap gempita lampu-lampu kota
justru membuat tapak gagap melangkah.
Gemerlap purnama menyeringai sapa: Duhai yang jiwanya kosong melompong akan cinta, akan datang masanya kau merindui kesendirianmu. Aku melangkah, mencari mengikuti suara sang purnama.

Benarkah?

Akankah aku mendapat cinta? Oh Tuhan, lekaskanlah, tak apa nanti aku menyesal, berilah aku cinta. Betapa pedih hidup tanpa mengucap kata 'cinta', betapa mumur kesendirian tanpa tahu apa itu cinta. Biar cinta jadi ruam di jiwa, asal aku punya pengalaman mencinta.

Benarkah?

Benarkah aku tak tahu cinta? Kudengar bisik-bisik orang: Tuhan memberi cinta kepada semua makhlukNya. Atau aku bukan makhluk Tuhan? Tak mungkin. Atau Tuhan membuat pengecualian? Tuhan Mahaadil. Lalu apa?

Benarkah?

Atau justru sebenarnya hidupku penuh cinta, cinta terhadap kata 'cinta,' cinta terhadap segala obsesiku tentang 'cinta?' Bisa jadi, karena besarnya kecintaanku akan 'cinta' membuatku tertutup pada hakikat cinta.

Ah Purnama, baru pertama kalinya aku mengikuti suara yang kuyakini kebenarannya, tapi kau malah bercanda. Sudahlah, jangan mengejekku lagi.

Medan, 2016

Bayangan Mematikan

Maukah kau membayangkan?
Ketika kau menghubungi seseorang.
Ternyata handphonenya mati.
Lalu ketika kau berbalik kau menemukannya sedang bersenda gurau dengan orang yang tak kau kenal.


Maukah kau membayangkan?
Ketika kau mendatangi rumah seseorang.
Ternyata ia sedang tak dirumah.
Lalu dijalan kau menemukannya bergandengan mesra dengan orang yang kau lihat bersamanya kemarin.

Maukah kau membayangkan?
Ketika handphonemu berdering.
Lalu melihat pesan dari orang yang kau tunggu kabarnya.
Yang menuliskan kata sayang, tapi dilanjutkan oleh nama yang bukan namamu.

Maukah kau membayangkan?
Ketika kau ingin melupakannya.
Ia datang, menangis dan terbang ke pelukanmu sambil mengucap kata maaf.
Meski itu sudah terjadi berulang kali, dan kau tergoda menerimanya kembali.

Maukah kau membayangkan?
Ketika kalian jalan bersama.
Ada seseorang menghampiri dan berkata kepadanya, "sayang, ini siapa?"
Lalu ia melepas genggamanmu dan berkata, "ini temanku, sayang," sambil tersenyum.

Maukah kau membayangkan itu semua?
Tidakkah itu akan membunuhmu?
Sedang aku masih mencoba untuk hidup kembali dan siap terbunuh, lagi.
Kapan saja.
Medan, november 2016

Syukur

Kalau kesakitan yang kau keluhkan.
Adakah keyakinan tak ada yang melebihi rasa sakitmu?
Kalau kekurangan harta yang kau tangisi.
Adakah kau pikir kau orang termiskin di dunia?

Berpeluh mencari harta bukan kehinaan, kawan.
Tapi kalau itu mematikan ingatanmu akan kematian, akan belangsat hidupmu.
Kelaparan bukan berarti kau harus menadahkan tangan, kawan.
Tidakkah kau ingat kisah orang nomor satu di kalangannya mengganjalkan batu di perut?

Ini semua tentang syukur, kawan. Selalu tentang itu.
Menerima kasih meski dari orang yang kau benci, itu syukur namanya.
Kalau kau tolak sesuatu dengan kata-kata yang kasar, itu namanya kau tak bersyukur.
Kalau tak bersyukur, kufur namanya. Kafir pelakunya.

Kau silahkan berambisi mendapatkan apapun yang kau mau.
Tapi kalau kau tersinggung karena mendapat yang tak sesuai keinginanmu, kau menantang Tuhan namanya.
Kalau kau menyakiti saudara-saudaramu karena fisikmu lebih bagus dari mereka.
Itu menghina Tuhan namanya.

Rabu, 02 November 2016

Kau Hidupku

Aku melihatmu pada gempulan asap, selalu.
Yang tentu saja keluar dari mulutku.
Sisa-sisa pembakaran setelah dikelola tubuhku.
Sepersekian menit sehabis menghisap batang sam soe.


Aku melihat putih yang dipenuhi keindahan.
Terkadang kau menari, sesekali kau tersedu dengan senyum yang abadi.
Suatu kali aku menyapamu, kau berangguk dan berkedip.
Astaga, apakah kau ini nyata?

Selanjutnya aku melihatmu pada semua hal.
Di pusaran kopi pada gelas batuku.
Di setiap sudut-sudut halaman bukuku.
Di setiap oksigen yang kuhirup, selalu.

Baru kutahu setelah beberapa saat berbincang denganmu.
Tak ada yang sedang berkhayal disini.
Semua terjadi, nyata dan selalu begitu.
Kau adalah hidupku.

Warung mbok Darmi, 31 Oktober 2016