Kamis, 22 Desember 2016

PLURALISASI

Saya percaya orang-orang Islam yang waras takkan pernah setuju jika ada orang-orang yang melakukan pemboman berdasarkan ajaran Islam. Sebagaimana orang-orang Kristen yang waras yang tidak menyetujui aksi terorisme yang mengatasnamakan ajaran agama mereka, pun Yahudi, Budha dan ajaran-ajaran agama mainstream lainnya.

Ini bukan soal pluralisme yang selama ini sudah dilabeli stigma negatif. Ini tentang kenyataan yang harus sama-sama kita perjuangkan bersama. Bahwa tak ada agama yang tak menjadikan 'moral kemanusiaan' sebagai pondasi mereka dalam hubungannya antar sesama manusia. Baik itu dalam pergerakan politik mereka, apalagi soal ideologis. Pemahaman ini mesti kita pegang teguh bersama sebagai satu-satunya jalan untuk menghindari gesekan-gesekan antar umat lintas agama.

Oknum-oknum beragama yang hari-hari ini mengancam kerukunan hidup kita tentu perlu ditelisik lebih jauh segala kepentingannya. Saya percaya bahwa masih ada sebagian di antara mereka yang tulus dengan niat menjalankan syari'at agamanya. Meski tak bisa dipungkiri kebanyakan dari mereka dijadikan martir demi memuluskan jalan orang-orang tertentu untuk meraih tujuannya, bisa berbentuk harta atau kekuasaan.

Ini harusnya diberikan perhatian yang cukup besar oleh para pemuka agama untuk bisa melakukan cara-cara tegas agar dapat mencegah/membasmi pertumbuhan doktrin-doktrin keagamaan yang seringkali rentan dieksploitasi untuk kepentingan duniawi. Katakanlah strategi politik untuk menguasai daerah tertentu.

Dan tak lain pula, bahwa itu semua dapat kita cegah dengan tetap menumbuhkan rasa toleransi di diri kita masing-masing. Mempererat tali persaudaraan kita sebagai manusia. Terlepas dari segala macam perbedaan yang mencakup Agama, Tuhan, Nabi, Aliran, atau Partai Politik. Tentu saja, semakin erat kita bersatu, semakin sulit pula orang mencerai-beraikan kita.

Terakhir, kepada siapapun yang masih pro terhadap tindakan kekerasan atas nama agama. Ayolah, jangan bodoh! Ada sesuatu hal yang mesti lebih kita pentingkan dari keegoisan kita dalam beragama. Siapapun yang akan mati oleh tindakan kekerasan tersebut. Diciptakan oleh Tuhan yang sama, yang juga kau percaya sebagai penciptamu.

KEDAULATAN HIDUP

Hidup itu mesti berdaulat, punya kebebasan tersendiri untuk memilih apapun sesuai kepentingan masing-masing. Tentu dengan kesadaran dan keyakinan penuh atas pengetahuan yang dimiliki tentang diri sendiri.
Silahkan kalau mau jadi nyinyirwan, tapi jadilah nyinyirwan yang mandiri, jangan ikut-ikutan orang. Kau mesti punya pengetahuan tentang apa itu nyinyir, tentang apa dan kepada siapa sepatutnya engkau bernyinyir ria.

Jadi jomblopun begitu, jadilah jomblo sejati, bukan berarti jadi jomblo seumur hidup. Sedih sekali rasanya begitu. Meskipun geer akan menikmati bidadari di surga. Nanti kena ejek Mbah Mun, kalau yang akan kalian nikmati itu cuma makanan ringan. Sedang yang beristri di dunia akan menikmati nasinya. Jadilah jomblo yang punya pengetahuan kenapa ia jomblo, kenapa ia tak pantas dipilih atau tak punya kawenangan apa-apa untuk memilih. (Wajib dicatat)

Kalau kau punya kepercayaan bahwa menjelek-jelekkan lawan adalah vitaminmu untuk merasa lebih baik dari orang lain. Kau harus punya pengetahuan tentang apa itu ksatria, tentang siapa yang mestinya pantas disebut sebagai pemenang.

Nanti, setelah kau sudah merasa berdaulat terhadap dirimu sendiri. Barulah kau boleh berbangga atas semua yang kau lakukan. Karena, meskipun suatu saat ketika kau keliru menanggapi sesuatu. Kau masih punya kebanggaan atas pencarianmu sendiri.

Orang lain hanya boleh menginspirasimu, tidak memprovokasi. Kalau kau melakukan sesuatu karena provokasi. Percayalah, saat itu kau hanya menjadi budak yang membantu mereka mendapatkan sesuatu.
Jadilah orang yang terinspirasi kalau kau tak mau merasakan bagaimana hinanya menjadi orang yang terprovokasi.

Caranya? Kembali fungsikan sesuatu yang Tuhan berikan kepadamu, yang menjadikanmu sebagai 'sesuatu' yang mulia: akal.

KITA YANG MUNAFIK

Kita ini bangsa uring-uringan, ganas, pemarah. Melihat sesuatu yang tak sejalan dengan kepentingan kita, seolah kita lepas kendali, memaki sana-sini, tak penting apa sebenarnya yang terjadi, yang penting bagaimana caranya supaya keinginan kita terwujud. Munafik.

Bagaimana bisa kita mengaku mencintai negeri ini, kalau kita masih sangat membenci (dalam artian, menganggap salah semua yang dilakukan) orang-orang yang memiliki kewenangan mengurusi negara ini? Terlebih lagi jika kebencian itu timbul justru bukan karena keputusan yang mereka lakukan melainkan kebencian yang tercipta karena yang memutuskan adalah orang yang berbeda partai politik dengan kita. Kurang munafik apalagi kita ini?

Setiap hari, kebanyakan umat islam dari kita ini mengaku mencintai Nabi Muhammad. Merasa paling harus mengikuti hampir setiap perlakuan Nabi Muhammad yang biasa diistilahkan dengan kata "Sunnah". Tapi untuk tetap mampu berlaku adil kepada -yang kita anggap- musuh saja hampir tak pernah terpikirkan.

Bahkan seharusnya, jika ada orang yang menghina-hina Nabi Muhammad hari ini. Kita masih harus menahan diri untuk marah-marah. Yang wajib kita lakukan pertama kali adalah mencari tahu mengapa ia melakukan itu. Kalau ternyata penyebabnya adalah karena ketidaktahuannya terhadap sosok Nabi Muhammad yang sesungguhnya, kewajiban kita berubah menjadi memperingatkan kesalahannya, dan menjelaskan kesalahpahamannya tersebut. Saya rasa begitu nasihat yang terkandung dalam ayat "berdakwahlah dengan hikmah dan mauidzah hasanah." Lain lagi halnya jika 'hinaan' tersebut justru lahir dari kesengajaan yang dilakukan oleh orang yang benar-benar ingin mengolok-olok Nabi Muhammad, padahal ia tahu bagaimana mulianya sosok tersebut. Silahkan lakukan tindakan-tindakan tegas, yang tentu saja tidak melanggar etik agama dan kemanusiaan.

Seharusnya jika benar-benar mengaku mencintai dan menjadikan Nabi Muhammad sebagai tauladan di segala lini kehidupan kita mestinya benar-benar mempelajari kisah-kisah 'dahsyat' tentang 'kerahimannya' kepada sesama, tentang ke-rahmatan lil 'alamin-annya. Lagi-lagi, tentang hal ini kita juga terindikasi mengandung kemunafikan dalam diri kita.

Ah, apalagi kalau melihat kita ini seringkali dijadikan alat politik kalangan tertentu. Rasanya kok nyesek sekali. Belum lagi tentang citra kita sebagai umat islam yang kian hari-kian buruk di mata 'orang-orang luar'.
Saya lebih suka mengakui bahwa secara umum kita ini masih bodoh. Tapi sikap kita yang seolah-olah memahami segala hal ini. Membuat saya merasa hanya boleh mengatakan kalau kita ini munafik.

Jangan tersinggung, kata-kata ini hanya dikatakan oleh orang yang selama ini seringkali dicap munafik oleh orang-orang 'yang entah siapa'. Jadi, anggap saja ini sebuah pengakuan. Atau lebih mudahnya, jangan merasa termasuk di kata "kita".

Semoga Allah tetap berkenan menunjukkan kita jalan yang lurus, meskipun kita ini adalah seorang munafik.

BOIKOT!

Rasanya sudah lama sekali saya tidak makan di restaurant yang -saya pikir- memberikan sumbangsihnya terhadap Israel, yang berbentuk dana. Ya harus tetap diakui itu juga karena ke-kere-an yang saya 'derita' selama ini. Tapi tetap akan menolak jika ada yang berniat mentraktir (kecuali kalau sudah terlanjur dibelikkan, hehe, insyaAllah.

Tapi, kalau terhadap hal-hal yang lebih mendasar, semacam air mineral, susu, perlengkapan mandi, dll. Rasanya saya masih belum konsisten melakukan gerakan boikot dengan slogan 'memulai diri dari sendiri'.
Terlalu lama terlena, setelah membaca artikel-artikel Bu Dina Sulaeman tentang perlakuan Israel dan kroni-kroninya terhadap umat Islam. Malam ini, semacam timbul semangat baru untuk berusaha lagi melakukan pemboikotan tersebut.

Harus kita akui pula hal-hal seperti ini sulit dilakukan, mengingat justru produk-produk merekalah yang menguasai pasar kita dan sedikitnya 'pilihan lain' yang bisa menggantikannya. Namun, insyaAllah selalu ada jalan untuk itu. Mudah-mudahan.

Maksud saya menulis ini sama sekali bukan dalam bentuk pamer. Demi Allah, saya merasa lebih bahagia melakukan ini diam-diam. Namun mengingat banyaknya teman-teman saya yang seperti sudah memiliki ketergantuan terhadap produk-produk tersebut. Saya merasa perlu mengajak mereka.

Atas nama kemanusiaan, dan martabat umat Islam. Saya mengajak semua teman-teman saya, dan siapapun yang membaca ini untuk mencari tahu produk apa saja yang menyumbangkan keuntungannya kepada Israel. Dan melakukan pemboikotan. Pelan-pelan saja, tak mengapa. Mudah-mudahan ini dapat menambah keberkahan hidup kita.

Kamis, 01 Desember 2016

Kasih Yang Utama

Silahkan tebarkan sajadahmu, sepanjang apapun kau mau.
Silahkan lengkingkan suaramu, sekuat apapun yang kau ingin.
Silahkan sisihkan lengan bajumu, setinggi apapun yang kau butuhkan.
Silahkan ajak teman-temanmu, sebanyak apapun sebisamu.

Tapi kalau tebaran sajadah hanya untuk kau pijak-pijak; lengkingan suaramu mengajak kepada kerusuhan; sisihan baju kau jadikan ajang pamer kekuatan; teman-temanmu kau hasut untuk saling memukul. Akan kukatakan laknat kepadamu, dengan mengutip ayat-ayat Al-Qur'an.

Sajadah itu alas, tempat kau merebahkan segala keangkuhan.
Suara itu bunyi kebaikan, seruan untuk melakukan segala kebijakan.
Lengan baju itu hijab, mengangkatnya berarti kau menerima segala perbedaan.
Teman-teman itu ladang, yang pupuknya adalah caramu memperlakukannya.

Aku berdo'a; juga di atas sajadah, suara yang sama sifatnya denganmu, menyisihkan baju saat berwudhu, dengan banyak teman-teman yang mengaminkan: kelak ketika kepulanganmu, kerukunan kita berkalilipat jadinya, gotong royong hidup kembali setelah lama mati, kita bisa tertawa seperti saat kita belum tahu apa itu kekuasaan.

Kau tahu? Meskipun ini kuawali dengan ancaman. Tiada lain harapan dariku selain segala kebaikan yang kau dapat. Karena sekuat apapun kau memusuhiku, tak ada alasan bagiku untuk tak tetap menyayangimu.

Senin, 28 November 2016

Memuliakan Penghina, Mungkihkah?

Maaf saja, serendah apapun orang-orang merendahkan islam sebagai agama, bagiku islam tetap berada di puncak kesempurnaan. Adapun yang merendahkan hanya akan kuanggap sebagai orang yang tidak tahu. Dan kalaupun sanggup, akan kucoba memberi tahu. Kalau tidak, akan kuajak mencari tahu bersama.

Maaf saja, kalau ada orang-orang yang berharap bahwa aku juga akan merendahkan ajaran agama lain. Maka ia memiliki harapan yang salah. Masa-masa menghina sudah kulewati, bahkan bukan hinaan yang bentuknya balasan. Pernah kujalani waktu yang dengan bangganya aku memulai menghina ajaran dan tuhan agama lain. Benar saja, hampir tak pernah ada kebaikan yang kuterima.

Bagiku, kemunduran islam dalam perannya membangun peradaban manusia yang beradab saat ini tidak bermula dari ajaran islam itu sendiri. Islam selalu memberikan anjuran, jalan, kisi-kisi untuk menuju kepada kesempurnaan. Adapun hal-hal yang menjadikan ia mengalami kemunduran adalah orang-orang islam itu sendiri. Terlebih kalau pembahasan-pembahasan keagamaan islam yang acapkali disalahgunakan untuk kepentingan kelompok tertentu.

Kalau ada dari orang-orang islam yang ingin menunjukkan kepada dunia bahwa islam adalah ajaran barbar, kejam. Maka aku akan tetap mengkampanyekan bahwa islam adalah ajaran yang welas asih. Kalau ada orang di luar islam yang menganggap bahwa islam adalah ajaran kekerasan. Maka aku akan menunjukkan kepada mereka bahwa islam adalah ajaran kelembutan.

Kalau saat ini orang-orang yang dianggap ulama dan terus 'diangkat-angkat' ke publik adalah ulama yang acapkali mengeluarkan kata-kata kasar. Aku akan 'mengenalkan' kepada mereka orang-orang yang kuanggap ulama tapi memilih 'majhul' dari dunia yang mengajarkan islam dengan cara yang dipenuhi oleh kerahmatan.

Kalau orang-orang merasa berhak untuk merasa paling benar dengan cara merendahkan orang lain. Maka aku akan tetap menjadi orang lain itu, meski aku satu-satunya di dunia dan dikelilingi oleh keangkuhan mereka. Dan takkan kuhinakan mereka, cukup bagiku menganggap itu adalah perbedaan cara pandang yang akan menjadi sebuah kenikmatan kalau didiskusikan dengan perasaan yang lapang.

Bersama, Kita Lebih Baik

Jangan mau diracuni. Kalau orang-orang islam diejek-ejek, dilecehkan oleh orang-orang kristen di sebagian tempat di dunia ini. Perhatikanlah di sekelilingmu, bagaimana hubunganmu dengan tetanggamu yang kristen. Adakah selama ini kalian memiliki masalah yang berarti? Kalau sudah berpuluh-puluh tahun kalian hidup rukun, tapi malah harus saling caci maki karena masalah Jakarta yang dibawa-bawa ke kampung. Percayalah, orang-orang yang mencoba mengadu domba kalian itu telah berhasil.

Jangan mau diracuni. Kalau tindakan-tindakan tidak manusiawi yang diterima oleh saudara-saudara muslim kita di Myanmar menyesakkan dada kalian. Jawaban untuk itu telah selesai di diri dan lingkungan hidup kalian sendiri. Kalau kalian berpikir itu adalah tindakan yang dihasilkan oleh ajaran Budha. Semua bisa terbantahkan dengan menilai sendiri bagaimana selama ini kalian hidup berdampingan dengan orang-orang budha di tempat tinggal kalian.

Kehebohan Jakarta itu telah mengajarkan kita bahwa kita masih rentan di adu domba, bahwa masih ada sebutir-dua biji kebencian terhadap kelompok lain di luar kita, bahwa kita masih bisa diperalat untuk memuluskan jalan orang-orang rakus mencapai tujuannya.

Sedang Myanmar, kita memang patut bersedih. Itu tindakan biadab yang sangat tidak manusiawi. Saya yakin, siapapun yang masih memiliki rasa kemanusiaan di dalam dirinya bersedih melihat keadaan kaum Rahingya. Mau itu Islam, Kristen, Budha, Hindu, Komunis, Kanan, Kiri, atau apapun, kalau ia 'manusia,' tak mungkin ia setuju terhadap tindakan itu. Kita harus sama-sama menyuarakan keadilan, ini bukan hanya tentang penindasan Umat islam, ini kejahatan kemanusiaan.

Marah-marah itu biasa. Tapi ketika genggaman telah dilepaskan, maka tangan-tangan itu akan memiliki kesempatan untuk saling memukul. Kalau kalian merasakan ada sesuatu yang salah, bicaralah, katakan kepada mereka apa sebenarnya yang benar. Bicaralah sekuat dan sekencang-kencangnya, tapi jangan jadikan itu pemutus persaudaraan, jangan jadikan itu penghancur barisan kita yang kokoh sejak ratusan tahun.

Saling merangkullah, kau tahu sendiri mana sebenarnya yang bisa membuat kita lebih kuat.

Pendidikan dan Akhlak

Kata Imam Ali alaihisalam tentang akhlak dalam keilmuan, beliau memberikan contoh pendidikan ibu dan anaknya. Beliau mengingatkan untuk tidak menggunakan kefasihan yang kita miliki dalam berbicara untuk memenangkan argumen dengan ibu kita yang ialah manusia pertama kali yang mengajari kita berbicara. Jika tidak, kita akan kehilangan keberkahan dalam ilmu tersebut. Atau justru akan mendatangkan penyakit batin.

Belakangan yang menjadi masalah pendidikan kita hari ini adalah akhlak. Anak-anak sama sekali tak menghormati gurunya, yang karenanyalah ia terlepas dari belenggu kebodohan. Terlepas dari kenyataan bahwa memang kita hidup di zaman yang profesi guru bisa dijadikan lapak utama mencari nafkah, yang seringkali mengakibatkan nilai pendidikan menjadi bias.

Bahwa akhlak harus selalu dikedepankan daripada ilmu adalah sebuah keharusan. Adanya akhlak dalam diri seseorang masih memungkinkan untuk dapat menyerap ilmu. Sedang ilmu yang tanpa diikuti akhlak hanya akan menciptakan kepongahan dan kesombongan.

Akhirnya, ini adalah tugas kita bersama. Bagaimana kita bisa menanamkan akhlak pada diri kita dalam proses mencari ilmu. Begitu pula bagaimana kita selalu mencerminkan akhlak kita dalam proses penyampaian ilmu. Pun dalam diskusi dan perdebatan.

Dan apa-apa yang terjadi belakangan akibat racun dari Jakarta yang telah merusak moral kita sebagai bangsa yang berkebhinekaan cukuplah menjadi pelajaran. Cukuplah marah-marahnya, cukuplah saling menghinanya, cukuplah caci-makinya. Mari kita citrakan kembali, bahwa Indonesia adalah kiblat adabnya dunia.

Ulama, Ia Yang Mengasihi

Mengikuti Gus Mus, saya percaya bahwa ulama itu adalah orang-orang yang melihat (keadaan) umat dengan kacamata rahmah (welas asih). Itu pula yang menyadarkan saya bahwa sikap-sikap ulama yang saya idolakan mampu bersikap legawa ketika selama ini difitnah dari segala arah, dicaci dari segala sudut, sesuai dengan pribadi mereka sebagai ulama.

Seringkali yang terucap dari mereka ketika diminta oleh orang-orang dekat mereka untuk mengklarifikasi atau membela diri dari berbagai macam fitnah adalah, "tak mengapa, anggap saja mereka orang-orang yang tidak tahu. Do'akan saja semoga Allah memberikan hidayah kepada mereka."

Jadi memang, saya percaya bahwa Indonesia akan baik-baik saja selama ulama-ulama semacam itu masih banyak tersebar di seluruh sudut negeri ini dan masih dicintai oleh mayoritas umat islamnya.

Untuk itu, saya berdo'a semoga Allah senantiasa melindungi para ulama kita dari berbagai macam fitnah dan menjaga kesehatan mereka sehingga dapat terus mengabdikan hidupnya untuk persatuan bangsa yang takkan bisa terwujud tanpa adanya tali rahmah antar sesamanya. Bukan hanya sesama muslim. Tetapi sesama bangsa Indonesia. Sesama manusia.

Selaraskan Niat dan Kelakuanmu!

Berbuih kau berbicara tentang keagungan Islam. Tapi yang kau lakukan justru mengkerdilkannya. Pernahkah kau setidaknya berpikir dampak terhadap apa yang kau lakukan: Berapa banyak orang akan saling membenci, berapa mualaf yang mulai meragukan pilihannya, berapa murtadin yang mensyukuri 'perpindahannya'.

Kau seringkali mengatakan kaulah yang paling memahami Islam. Tidakkah kau mengingat bahwa perbedaan adalah rahmat? Bagaimana bisa kau merasa yang paling paham tentang sebuah ajaran, tetapi tak bisa menerima perbedaan yang termasuk di dalam ajaran tersebut.

Ingatlah, kepada berapa ratus orang kau berkata bahwa islam adalah yang menebar kasih bagi sekalian alam? Kau pikir berapa banyak di antara mereka yang mempercayai itu, sedang yang kau lakukan justru menjadi penyebab perpecahan. Bisa-bisanya kau mengatakan akan memberikan mereka madu padahal yang kau berikan adalah racun.

Berhentilah, kawan. Rapikan kembali niatmu. Aku yakin apapun yang kau perjuangkan saat ini, berangkat dari niat yang baik. Tapi, bukankah sebuah kecelakaan apabila kebaikan yang kau harapkan justru melahirkan lebih banyak keburukan?

Aku menghargai kegigihanmu. Aku salut akan semangat keagamaan yang berkobar di dirimu. Tapi aku juga menyayangimu. Dan untuk itu, aku akan tetap mengingatkanmu, meski suatu saat nanti kau menganggapku musuhmu. Kau akan tetap menjadi saudara bagiku.

Antara Cinta dan Rasanya Mencinta

Aku sendiri melawan duka; melihatmu tertawa.
Percaya kepada cinta itu niscaya: aku mengikuti kata hatiku yang tertuju padamu.
Aku yakin ini ada hubungannya dengan politik. Kau raih aku dengan perhatianmu.
Sehingga orang-orang memperhatikanmu. Dan aku tertinggal, jauh.

Tapi tak mengapa, kalau aku mau, tinggal kukatakan saja pengalamanku denganmu.
Toh orang-orang akan percaya padaku: tentang kemunafikanmu.
Kejayaanku memang kau curi, salahmu sendiri kenapa kau tak buru-buru membunuhku.
Sekarang aku tahu, dan ketahuanku ini senjata yang paling sulit kau lawan.

Tapi akukan baik, sebaik aku menerimamu tanpa berpikir kau akan berkhianat.
Toh gagasanku bisa kuciptakan dengan lebih baik lagi.
Sayang sekali kau begitu cepat meninggalkanku; kalau tidak, sudah kuberikan semuanya padamu. Kebaikanku, akan kukatakan kepada dunia bahwa aku mendukungmu.

Cukupkan? Kau tetap bisa berjaya dengan keringatku ditambah kau mendapat dukunganku.
Tenang saja, ini bukan strategi sebagaimana kau mengenalku yang diam-diam makan dalam. Ini tulus.

Aku hanya akan menunggumu merasakan menjadi aku.
Aku tahu, hal itu tak pernah terpikirkan olehmu.
Dan nanti, ketika itu terjadi, kau akan kembali kepadaku.
Tentu saja, kau tahu hanya aku yang akan menerimamu.
Janjiku; aku mengajakmu menonton panggung pertunjukan orang yang mencuri itu, lalu mendengarkanmu bercerita bagaimana rasanya menjadi pihak yang dikhianati.

Demo 212

Pertama, ini patut kita syukuri karena kita tahu bahwa kesadaran umat islam tentang kecintaannya terhadap agama mulai tampak secara luas, yang saat ini diberi jalan dengan metode pembelaan. Terlepas dari perdebatan mana seharusnya yang pantas dibela, apakah agama yang membela kita atau justru sebaliknya, seperti yang terjadi hari-hari ini.

Kedua, patut pula dipahami oleh orang-orang yang tidak setuju terjadinya demo 212 mendatang. Bahwa ini adalah perbedaan persepsi, cara pandang yang berbeda di antara kita. Kalau ada yang merasa memahami situasi yang terjadi sebenarnya. Silahkan ingatkan saudara kita yang mengikuti kegiatan itu. Tentu dengan cara yang baik-baik demi meminimalisir terputusnya silaturahmi. Karena mau tidak mau kita mesti percaya bahwa banyak orang yang akan terjun kesana berangkat dari ketulusan cintanya terhadap agama.

Ketiga, harus kita tanamkan pula pada diri kita sebagai masyarakat. Bahwa tolok ukur kesejahteraan sebuah negara itu bersandar pada kegiatan hidup masyarakatnya, yang berarti itu kegiatan hidup kita. Bagaimana caranya kita membangun kesejahteraan bersama tetapi kita masih menyimpan benci terhadap tetangga kita? Itu meski kita pikirkan baik-baik. Urusan bahwa kegiatan tersebut rentan disusupi pihak-pihak yang memiliki kepentingan memecah belah. Cukup kita halau dengan membangun kesadaran bersama bahwa kita adalah bangsa yang mencintai keberagaman, mencintai segala perbedaan.

Keempat, bahwa TNI kita adalah termasuk kepada barisan kemiliteran terbaik di Dunia. Prasangka baik bahwa mereka dapat menjalankan tugas untuk mengamankan negara dari kepentingan negara-negara lain yang ingin menghancurkan kita haruslah kita bangun di dalam diri kita. Tentu itu akan menjadi sia-sia kalaulah masyarakatnya terpecah belah. Kita harus bersatu, pasti kita akan memiliki kekuatan yang besar untuk bertahan jika berjuang bersama-sama. Ingat itu. Pasti.

Terakhir, kita mesti memaklumi segala perbedaan pendapat. Memang, selalu ada kepentingan politik. Tapi kita menghargai mereka, sebagaimana kita membanggakan demokrasi. Karena apa yang akan mereka lakukan dijamin kebebasannya oleh demokrasi.

Kalaupun usaha-usaha kita sudah kita lakukan. Apa yang kita pahami telah kita sampaikan. Karena saya yakin, sebagaimanapun kalian berjuang mengingatkan mereka. Selama itu berkaitan dengan kepentingan politik. Mereka tetap akan melakukannya. Baiknya, kita berdo'a agar negeri ini baik-baik saja. Dan keburukan-keburukan yang ada di pikiran kita tidak menjadi kenyataan.

Sabtu, 19 November 2016

Karena Cinta Berarti Gila

Memang, jarak kita membentangi samudera.
Suaramu, bahkan berdengung di ponselku.
Tapi hati, memanglah betapa luas kuasa Tuhan.
Tak pernah sedetikpun tak merinduimu.

Mungkin, adakalanya kau tertarik pada tiang-tiang baru yang kau temui.
Tapi, betapa pintuku akan terlalu egois untuk menolakmu datang kembali, itupun kalau.
Sungguh, kalaupun kau ternodai, akulah yang akan menjadi pasir penyucimu.
Kalau kau berdarah, akulah kapas pembersihmu yang rela kau buang dimana saja.

Meski suatu saat nanti aku berjalan dan menemuimu bersandar di pundak yang lain.
Aku akan siap mengepakkan dadaku, kalau saja pundak itu tak kuat menahan sandaranmu.

Sayang, orang akan berkata aku gila.
Biarkan saja, tak mengapa aku dikata gila.
Tak usah kau pedulikan bagaimana rasa yang kutanggung, yang penting kau bahagia.

"Ulama"

Walah, mbok ya jangan menghina ulama toh. Sikap husnudzan ulama-ulama itu besar. Orang datang mengajak kebaikan InsyaAllah langsung mereka sambut dengan antusias, yang sayangnya seringkali dimanfaatkan oleh orang-orang licik.

Berbeda pendapat ya silahkan, asal jangan saling melempar hinaan. Dan pendapatnya bisa dipertanggung-jawabkan. Toh sejak dulu perbedaan di kalangan ulama juga banyak, kan? Alah, semua yang mengaku pelajar muslim tentu tahu itu.

Soal standarisasi ulama itu setiap orang punya standarnya masing-masing toh. Kalau saya lebih menekankan ulama bukan hanya yang menguasai banyak kitab. Bukan sekedar yang lebih sering mengucap "takbir" lalu disambut "Allahu Akbar" dengan suara yang super nyaring. Pokoknya ulama yang saya kagumi itu semacam Habib Ali Jufri itulah. Itu standar saya ya, yang tak akan saya promosikan ke siapa-siapa. Kalau standar anda berbeda ya silahkan, asal kita tetap saling menyayangi.

Jadi wajar saja kalau kita berbeda pendapat karena panutan kita yang 'berbentuk' ulama juga berbeda. Kalau ada nantinya yang menurut anda ulama tapi menurut saya tidak. Ya terima saja. Saya juga insyaAllah akan begitu ketika siapa yang saya anggap ulama justru anda anggap kafir. Biasa saja. Itu urusan anda nanti dengan dia dan Dia.
 
Nah, apalagi kalau kita sepakat dengan beberapa ulama yang sama, namun berbeda pendapat. Yang akhirnya juga akan membuat kita berbeda pendapat juga. Ya jangan jontos-jontosan, justru seharusnya itu sebuah hal yang patut disyukuri karena menandakan bahwa memang ulama yang kita kagumi itu dapat menelurkan keluasan ilmunya. Dan tetap kita harus saling menyayangi.

Kata 'kenal' itu ada karena memang aslinya kita berbeda. Yang berarti seharusnya kita tak punya waktu jeda untuk saling mengenal satu sama lain. Lalu saling menyayangi dan melimpahkan saya kita ke orang lain lagi. Begitu seterusnya, sampai kepada misi kita yang Rahmatan Lil Alamin.

Purnama Membisik, Aku Mendapat Cinta

Gegap gempita lampu-lampu kota
justru membuat tapak gagap melangkah.
Gemerlap purnama menyeringai sapa: Duhai yang jiwanya kosong melompong akan cinta, akan datang masanya kau merindui kesendirianmu. Aku melangkah, mencari mengikuti suara sang purnama.

Benarkah?

Akankah aku mendapat cinta? Oh Tuhan, lekaskanlah, tak apa nanti aku menyesal, berilah aku cinta. Betapa pedih hidup tanpa mengucap kata 'cinta', betapa mumur kesendirian tanpa tahu apa itu cinta. Biar cinta jadi ruam di jiwa, asal aku punya pengalaman mencinta.

Benarkah?

Benarkah aku tak tahu cinta? Kudengar bisik-bisik orang: Tuhan memberi cinta kepada semua makhlukNya. Atau aku bukan makhluk Tuhan? Tak mungkin. Atau Tuhan membuat pengecualian? Tuhan Mahaadil. Lalu apa?

Benarkah?

Atau justru sebenarnya hidupku penuh cinta, cinta terhadap kata 'cinta,' cinta terhadap segala obsesiku tentang 'cinta?' Bisa jadi, karena besarnya kecintaanku akan 'cinta' membuatku tertutup pada hakikat cinta.

Ah Purnama, baru pertama kalinya aku mengikuti suara yang kuyakini kebenarannya, tapi kau malah bercanda. Sudahlah, jangan mengejekku lagi.

Medan, 2016

Bayangan Mematikan

Maukah kau membayangkan?
Ketika kau menghubungi seseorang.
Ternyata handphonenya mati.
Lalu ketika kau berbalik kau menemukannya sedang bersenda gurau dengan orang yang tak kau kenal.


Maukah kau membayangkan?
Ketika kau mendatangi rumah seseorang.
Ternyata ia sedang tak dirumah.
Lalu dijalan kau menemukannya bergandengan mesra dengan orang yang kau lihat bersamanya kemarin.

Maukah kau membayangkan?
Ketika handphonemu berdering.
Lalu melihat pesan dari orang yang kau tunggu kabarnya.
Yang menuliskan kata sayang, tapi dilanjutkan oleh nama yang bukan namamu.

Maukah kau membayangkan?
Ketika kau ingin melupakannya.
Ia datang, menangis dan terbang ke pelukanmu sambil mengucap kata maaf.
Meski itu sudah terjadi berulang kali, dan kau tergoda menerimanya kembali.

Maukah kau membayangkan?
Ketika kalian jalan bersama.
Ada seseorang menghampiri dan berkata kepadanya, "sayang, ini siapa?"
Lalu ia melepas genggamanmu dan berkata, "ini temanku, sayang," sambil tersenyum.

Maukah kau membayangkan itu semua?
Tidakkah itu akan membunuhmu?
Sedang aku masih mencoba untuk hidup kembali dan siap terbunuh, lagi.
Kapan saja.
Medan, november 2016

Syukur

Kalau kesakitan yang kau keluhkan.
Adakah keyakinan tak ada yang melebihi rasa sakitmu?
Kalau kekurangan harta yang kau tangisi.
Adakah kau pikir kau orang termiskin di dunia?

Berpeluh mencari harta bukan kehinaan, kawan.
Tapi kalau itu mematikan ingatanmu akan kematian, akan belangsat hidupmu.
Kelaparan bukan berarti kau harus menadahkan tangan, kawan.
Tidakkah kau ingat kisah orang nomor satu di kalangannya mengganjalkan batu di perut?

Ini semua tentang syukur, kawan. Selalu tentang itu.
Menerima kasih meski dari orang yang kau benci, itu syukur namanya.
Kalau kau tolak sesuatu dengan kata-kata yang kasar, itu namanya kau tak bersyukur.
Kalau tak bersyukur, kufur namanya. Kafir pelakunya.

Kau silahkan berambisi mendapatkan apapun yang kau mau.
Tapi kalau kau tersinggung karena mendapat yang tak sesuai keinginanmu, kau menantang Tuhan namanya.
Kalau kau menyakiti saudara-saudaramu karena fisikmu lebih bagus dari mereka.
Itu menghina Tuhan namanya.

Rabu, 02 November 2016

Kau Hidupku

Aku melihatmu pada gempulan asap, selalu.
Yang tentu saja keluar dari mulutku.
Sisa-sisa pembakaran setelah dikelola tubuhku.
Sepersekian menit sehabis menghisap batang sam soe.


Aku melihat putih yang dipenuhi keindahan.
Terkadang kau menari, sesekali kau tersedu dengan senyum yang abadi.
Suatu kali aku menyapamu, kau berangguk dan berkedip.
Astaga, apakah kau ini nyata?

Selanjutnya aku melihatmu pada semua hal.
Di pusaran kopi pada gelas batuku.
Di setiap sudut-sudut halaman bukuku.
Di setiap oksigen yang kuhirup, selalu.

Baru kutahu setelah beberapa saat berbincang denganmu.
Tak ada yang sedang berkhayal disini.
Semua terjadi, nyata dan selalu begitu.
Kau adalah hidupku.

Warung mbok Darmi, 31 Oktober 2016

Selasa, 25 Oktober 2016

WISATA SEBAGAI PEMBELAJARAN ATAU AJANG KEREN-KERENAN?

Bagiku, wisata itu ya menikmati Alam. Melihat-lihat dunia 'asing' untuk menambah wawasan dalam mentadabburi keagungan Tuhan. Kalau orang bilang sebagai per-erat-an hubungan jika bepergian dengan teman, itu hanya nilai lebih, meskipun termasuk keutamaan. Tapi kalau cuma untuk menambah koleksi foto, itu cuma bonus.

Aku termasuk yang menganggap kamera dapat mengurangi nilai perenungan, foto bersama cuma hanya sebagai kenang-kenangan yang berupa hiasan. Terlalu matrealistis. Belum lagi kalau dihubungkan dengan keangkuhan menunjukkan kepada 'yang tidak mampu' bahwa kita telah singgah di tempat ini itu.

Penampilan apalagi, asal tak melanggar nilai 'baik-buruk' dan 'benar-salah', bagiku itu sama sekali bukan masalah besar. Soal estetika -indah tidaknya- orang-orang punya parameter masing-masing dalam menilai. Itu urusan orang yang menilai.

Selama kau menyimpan keindahan tentang alam atau kebersamaan saat sedang berwisata. Tentu itu saja sudah cukup menafkahi kepuasan bathinmu 'yang kau pikir' sedang kekurangan.

Silahkan berkamera, semahal-mahalnya, sebanyak-banyaknya, sepuas-puasnya, secantik-cantik dan setampan-tampannya. Tapi kalau kamera sampai mengganggu kualitas kenikmatan ruhani yang kau dambakan dalam berwisata atau kebersamaan dengan kolegamu.
Aku hanya bisa berkata, 'sayang sekali'.

Tulisan Curhatan, Panjang dan Tak Penting Untuk Produktivitas Kehidupan Kalian!

Nyatanya, aku memang tak pernah 'dengan sadar' berniat berbuat sesuatu supaya orang-orang tertarik sama pribadiku. Meskipun mengakui dan mengimani bahwa penghormatan begitu berarti bagi setiap manusia secara naluriah. Tapi aku tetap terus mencoba untuk tidak memberlakukan itu.

Juga aku tak pernah berniat secara sengaja berbuat sesuatu agar dipandang buruk oleh orang lain. Meskipun aku tak memiliki hak dan kewajiban apa-apa untuk menghalangi orang-orang berpikiran buruk sama pribadiku. Bagiku, ya biasa saja. Orang-orang punya parameter sendiri. Begitupun aku.

Kuakui memang, ada banyak kesalahan caraku bersosialisasi di komunitasku saat ini. Selama tiga tahun belakangan ini aku selalu menjadi orang termuda atau setidaknya dalam usia rata-rata di dalam komunitas yang aku ikut campur di dalamnya. Jadi memang sedikit banyak, ada hal yang sudah terbiasa kulakukan selama tiga tahun itu tidak sesuai dengan cara berfikir orang-orang seusiaku pada umumnya.

Selama tiga tahun pula, aku menjadi orang yang seringkali menjadi objek 'pencocokkan' oleh teman-temanku yang memang secara usia dan pengalaman lebih banyak dariku. Meskipun aku harus mengakui merasa telah membuat mereka 'menyerah' karena ternyata sedikit-sedikit aku bisa mengimbangi mereka.

Karena hal-hal semacam itu pula. Justru dalam 'perjalananku,' aku menjadi lebih sering memerankan sesuatu yang memang seharusnya tidak menjadi peran anak seusiaku saat itu. Banyak perselisihan orang-orang yang 'lebih tua' dariku yang (harus kuakui) aku merasa berhasil mengatasinya.

Positif menurutku, setidaknya saat itu. Meskipun aku banyak melewatkan pengalaman-pengalaman yang pada umumnya dirasakan oleh orang-orang sebaya. Kedewasaan berfikir yang terlalu dini dan banyaknya pengalaman yang kudapat. Membuatku merasa istimewa. Tak bisa dipungkiri, saat itu aku merasa lebih baik dari banyak orang seusiaku.

Tapi hari ini, dimulai dari beberapa bulan sebelumnya. Aku merasa jungkir balik mengikuti keadaan lingkunganku. Setelah aktif kuliah di Indonesia yang (benar kata orang) begitu membosankan, aku juga harus menjadi 'kepala suku' di kelas. Bukan ketua kelas, karena memang bukan bakatku jadi ketua kelas. Tapi menjadi yang paling tua di kelas. Yang setiap hari aku harus bersosialisasi dengan 60 orang yang usianya rata-rata 2 tahun dibawahku.

Banyak kebingungan yang kurasakan. Aku bingung melakukan pendekatan dengan kebanyakan mereka, tak ada kehidupanku saat di usia mereka yang kujalani dengan 'normal'. Aslinya aku tak tahu bagaimana cara mereka menilai sesuatu, kecuali beberapa orang. Aku meraba, mencoba memahami pola pikir mereka secara umum.
Sebagai permulaan, aku mencoba menjadi pribadi pendiam. Karena memang karakter yang paling banyak kumiliki adalah sikap dingin. Gagal. Mereka jadi seolah-olah segan/takut bermuamalah denganku. Aku tak mau itu.

Lalu aku mencoba menjadi 'orang yang bersuara', meski beberapa kali berhasil mengikuti 'budaya' mereka. Namun seringkali justru caraku berbicara dianggap mereka terlalu tinggi dan dibuat-buat. Meskipun aku berlepas diri dari pembahasan-pembahasan agama, di kelas. Aku berbicara persoalan agama hanya kepada satu orang, yang kurasa siap untuk menganilisis pemikiranku. Sisanya, aku hanya dicap sebagai orang yang sombong. Tak masalah penilaian semacam itu menurutku. Tapi, artinya aku gagal melakukan pendekatan dengan mereka.

Selanjutnya aku balik ke 'calm' kembali. Berbicara seperlunya, hanya ketika diminta dosen atau ketika memang tak ada yang sanggup menanggapi dosen. Dengannya, orang-orang menganggap aku punya nilai lebih dalam pelajaran. Sialnya, memang bukan tipeku ngajak orang untuk belajar samaku. Akhirnya aku dicap sebagai orang yang mau pintar sendiri. Padahal kuis kemarin, aku rela tak menyiapkan tugasku, karena harus mengisikan kertas teman yang sama sekali tak tahu harus mengisi apa. Lagi-lagi menurutku aku gagal melakukan pendekatan yang baik.

Akhirnya, pikirku memang sulit bagiku mengikuti 'budaya' mereka. Toh sudah dinilai buruk. Nanti juga kalau sudah lama berbaur mereka juga memahami. Lalu akhirnya mereka sendiri yang coba melakukan pendekatan denganku. Tapi memang begitu ya, budaya anak muda itu seringkali sembrono menilai seseorang lalu merasa penilaiannya lah yang paling benar.

Kemarin-kemarin aku kuliah-pulang kuliah-pulang karena ndak ikut organisasi apapun, dibilang sombong atau dahsyatnya, katrok. Hari ini aku daftar untuk gabung HMI. Mereka bilang bahaya, khawatir pemikiran agamaku jadi bermasalah. Khawatir aku dieksploitasi untuk ikut demo. Asik juga sih dikhawatiri orang-orang. Tapi mbok ya kalau mereka tahu gimana aku pernah mengkritik HMI.

Akhirnya, memang indah kehidupan ini. Akhirnya aku diberikan Tuhan kesempatan untuk mencicipi kelucuan anak-anak muda Indonesia secara dekat, tanpa jarak. Atau justru termasuk ke dalam kelucuan-kelucuan tersebut

Indah ya!

RASIS

Menghadaplah pada suatu hari, Bilal putra Rabah r.a. kepada Nabi Muhammad s.a.w. Maula berkulit hitam yang dibebaskan oleh Abu Bakar r.a. pada masa awal dakwah Nabi itu mengadukan perihal pinangannya yang ditolak oleh puak Al Bukair.[Maula artinya orang dalam perlindungan, mantan budak. Nabi meminta menggunakan istilah maula sebagai pengganti istilah ‘abd, budak itu]. Bukan bapak si gadis yang menolak pinangan Bilal melainkan saudara-saudaranya

“Ya Rasulullah, lihatlah yang aku dapatkan dari Bani Bukair. Aku meminang salah seorang putri mereka tapi mereka menolakku bahkan menghinaku. “

Nabi menenangkan Bilal tapi tak pelak dia murka mendengar keluh kesah Bilal, dan kabar tentang kemurkaan Nabi sampai pada saudara-saudara dari si gadis yang dipinang oleh Bilal. Mereka lalu mendatangi si anak gadis dan merundungnya dengan menyatakan si gadislah yang menyebabkan Rasulullah murka kepada mereka. Menjawab saudara-saudaranya, si gadis berkata, “Urusanku di tangan Rasulullah.”
Beberapa hari setelah kejadian itu, Bani Bukair menerima pinangan Bilal dan menikahkannya dengan gadis pilihannya. Begitulah Imam Al Qurthubi menceritakan dalam salah satu buku tafsirnya tentang pernikahan yang bukan saja antarras melainkan pula antarkasta, dan pernikahan semacam itu tak hanya terjadi pada Bilal.

Cerita lain adalah pernikahan Salman Al Farisi r.a. dengan salah satu putri Abu Bakar. Sama dengan Bilal, Salman adalah seorang maula. Dia berasal dari Parsi [Iran] dan setelah dibebaskan sebagai budak, Salman menjadi salah satu panglima Islam. Pengatur strategi. Salah satu idenya yang tersohor adalah membuat parit dalam Perang Khandaq. Maula yang berpostur tinggi besar dengan rambut lebat itulah yang meminang salah seorang putri Abu Bakar. Dan dia diterima.

Kisah tentang Bilal dan Salman yang menikah dengan perempuan dari bangsa, ras dan kasta yang berbeda itu, hanya sedikit contoh tentang kesetaraan manusia yang diajarkan Islam dan dipraktikkan oleh Nabi. Di buku “Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik”, Syu’bah Asa menyebut ajaran kesetaraan itu “dipaksakan” oleh Nabi untuk mendobrak kungkungan sikap rasis di abad ke-7 Masehi yang masih sangat kental di kalangan kaum Quraisy. Pada zaman itu, Bilal dan Salman bukan saja berbeda bangsa, kulit dan bahasa, tapi keduanya adalah maula, bekas budak yang diperdagangkan oleh kaum pagan.

Tentu, Nabi tidak gegabah melakukan perlawanan. Dia menyandarkan sikap dan pendiriannya pada Al Quran. Antara lain yang tercantum pada Surat Ar Rum [Roma] baris ke 22: “Di antara tanda-tanda kekuasaan Allah adalah penciptaan segala langit dan bumi, dan keanekaragaman bahasamu, warna kulitmu. Dalam hal ini, terdapat tanda-tanda bagi kalangan yang berilmu.” Ayat itu, menurut Syu’bah, merupakan pasangan dari Surat Al Hujurat baris ke-13: “Wahai manusia, Kami ciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan dan Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan berpuak-puak agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah, adalah yang paling takwa. Allah mahamengetahui.”

Dari redaksinya, bisa dipahami ayat itu berbicara bukan hanya kepada kaum Muslim melainkan kepada seluruh manusia meskipun ada penjelasan lain. Yusuf Ali [1407] menjelaskan, "dalam sebuah dunia yang sempurna, dua-duanya bisa dimengerti sebagai sinonim." Ada pun beberapa ahli tafsir menyatakan, ayat-ayat kesetaraan itu turun karena beberapa sebab [asbabun nuzul], atau kejadian-kejadian yang mendahului penerimaan wahyu. Antara lain, seperti diceritakan oleh Abu Daud dalam kitab “Al Marassil.”
Dia menuturkan, pada suatu hari, Rasulullah menyuruh Bani Bayadhah untuk menikahkan seorang perempuan dari mereka dengan Abu Hind tetapi mereka menolak. Mereka berkata, “Maula kami harus menikah dengan gadis kami?”

Peristiwa penolakan dari Bani Bayyadhah itulah yang konon menjadi penyebab turunnya ayat ke-13 Surat Al Hujurat kepada Nabi. Sebab lainnya adalah kejadian di pasar Madinah. Rasulullah sedang lewat di pasar itu ketika seorang budak dari Afrika berkata, “Siapa yang membeli aku ada syaratnya: tidak melarangku shalat lima waktu di belakang Rasulullah.”

Dia dibebaskan oleh seseorang tapi tak berapa lama si budak sakit. Nabi menjenguknya, dan ketika maula itu mati, Nabi mempimpin pemakamannya. Gara-gara semua itu, orang-orang lalu berbicara macam-macam mengenai si maula sehingga turunlah ayat itu.

Kisah ini antara lain ditulis oleh Al Nasafi dalam kitab tafsirnya. Dalam buku tafsir “Bahrul Muhit,” Abu Haiyan menceritakan, ada sebab yang lain lagi, yaitu karena kelakuan Bilal.

Pada hari pembebasan Makkah, Bilal naik ke atap Ka’bah dan melakukan azan pertama di sana tapi tingkah Bilal membuat marah Harits putra Hisyam dan Itab putra Usaid. Mereka tidak senang karena Bilal adalah maula.

Tetapi apa pun penjelasan dan cerita-cerita yang melingkupi ayat-ayat Ar Rum dan Al Hujarat itu, Nabi benar mempraktikkannya melalui perilaku dan bukan hanya kata-kata. Bersumber kepada Abu Nadrah, di kitab “Aadaabun Nufus,” Thabari mengisahkan tentang para sahabat yang menyaksikan dan mendengarkan khotbah terakhir Nabi.

Saat itu Nabi menyampaikan khotbahnya sembari duduk di atas punggung unta di Mina pada hari-hari tasyriq, salah satu dari tanggal-tanggal 11-13 Dzulhijjah. Jumlah jemaah haji diperkirakan 140 ribu orang dan bagian-bagian paling panting dari kalimat Nabi diteriakkan orang ke belakang.

“Ketahuilah olehmu wahai manusia bahwa Tuhan kalian semua adalah satu. Bapak kalian semua adalah satu. Tidak ada kelebihan apa pun pada orang Arab atas orang Parsi atau orang Parsi atas orang Arab. Tidak pula orang hitam atas yang merah atau yang merah atas yang hitam kecuali dengan takwa. Dengarlah: sudahkah aku sampaikan?” Orang-orang menjawab, “Sudah ya Rasul, engkau sudah menyampaikan dan kami telah mendengarnya.” Nabi lantas melanjutkan khotbahnya, “Hendaklah yang menyaksikan menyampaikan kepada yang tidak hadir.”

Jauh sebelum itu, pada hari pembebasan Makkah, sewaktu Nabi melakukan tawaf, dia juga berbicara tentang pentingnya tidak mengungkit-ungkit masalah ras. “Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan dari kalian aib jahiliah dan sifat takaburnya. Saudara-saudara, sesungguhnya manusia itu hanya ada dua: mukmin yang takwa dan mulia dalam pandangan Allah, dan pendosa yang celaka dan hina dalam pandangan Allah.”

Menyandarkan pada sahih Muslim, Qurthubi bahkan memuat pernyataan Nabi yang menyangkut nasabnya. Dari hadis Abdullah putra Amr dikisahkan, “Aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda dengan suara keras, bukan lirih, bahwa ‘sebenarnya keluarga [aal] ayahku bukan para pelindungku. Ada pun pelindungku hanya Allah dan para mukmin yang saleh’.”

Dari pernyataan itu, dalam dimensi kenabian yang hanya sepenggal, Rasulullah jauh-jauh hari telah melepaskan diri dari kedudukan sebagai manusia klan dan masuk ke kedudukan manusia Islam. Dan manusia Islam atau Muslim adalah manusia yang menghargai perbedaan asal-usul, bangsa, ras, bahasa, dan bahkan keyakinan. Manusia yang tidak rasis. Wallahu ‘alam.
#khotbahjumat

-RUSDI MATHARI-FACEBOOK-

The Power Of Malming

Setelah melakukan pengamatan yang cukup mendalam. Bahwa malam minggu dapat mengakibatkan 'terjadinya gangguan psikologis' bagi para -maaf- jomblo adalah mereka menganggap bahwa bahagia itu mesti berpasang-pasangan.

Padahal mereka aslinya cukup bahagia, ketika ada satu-dua kolega yang 'curhat' bahwa berpasangan juga dapat mengakibatkan 'terjadinya gangguan psikologis' juga.

Tapi memang, apa yang terjadi di malam minggu itu. Bagi para -maaf- jomblo, wajar saja rasanya mendapat tekanan bathin ketika melihat ribuan pasang badan yang saling berdempetan di 'jalanan'.

(BUKAN) SURAT UNTUK ADIK

Begini toh, dik. Apa ndak sayang waktu yang kita lalui ini hanya terlewati begitu saja, tanpa bertambahnya pengetahuan kita tentang pelajaran sekolah, wawasan kita tentang kebudayaan; cinta kita kepada sesama, hormat kita kepada orang tua, motivasi untuk selalu berbuat baik, pemahaman-pemahaman agama yang dengan 'sempit'nya kita jadikan pembenaran kita untuk membenci 'sesuatu'.

Oh, ayolah dik. Apa tak bosan-bosan dirimu menuliskan sesuatu yang akhirnya nanti akan berdampak buruk untuk kehidupanmu, karena yang kau tulis hari ini di dinding facebookmu adalah umbaranmu tentang aib-aibmu sendiri, aib-aib keluargamu, teman sejawatmu, atau bahkan guru-gurumu. Sia-sia dik, sia-sia. Justru akan menjadi 'kesialan' tersendiri untukmu nanti.

Dik, ini tidak serumit pikiranmu, bahwa aku menasehatimu karena aku merasa lebih baik. Bukan itu, dik. Kita sedang hidup bersama di zaman yang tak bisa memberi kita sesuatu yang bermanfaat tanpa kita 'berjuang' sendiri menjemputnya. Kita pernah sepakat, bahwa sistem pendidikan kita terbelakang, tapi kenapa justru aku tak melihat kau pernah memegang buku? Atau justru membuat 'kerusuhan' karena memposting foto-foto yang tak pantas kalian sajikan?

Dik, ini tentang kepedulian, tentang kasih sayang. Sesederhana itu, dik. Tak ada yang pantas merasa lebih baik dari yang lain saat ini. Semua harus saling menuntun, bukankan kenikmatan yang luar biasa adalah kita saling bergandengan tangan dan berjalan bersisian?

Tak ada yang memintamu untuk bersaing, dik. Kebaikan hanya akan muncul hanya kita saling membantu, dik. Berkolaborasi untuk menciptakan manfaat untuk orang lain.

Kurang banyak apalagi kritikan untuk orang-orang seusia kita, dik. Degradasi nilai yang setiap hari kita pamerkan, sudah menjadi perhatian dunia. Tidakkah seharusnya kita malu, dik? Atau justru bangga dengan ketertinggalan? Lalu berteriak kepada mereka, 'urus urusanmu sendiri'? Begitu, dik? Jangan, dik. Jangan lakukan itu.

Bangsa dan negara ini menggantungkan semua 'nasib' masa depannya kepada kita, dik. Harusnya kita berbangga. Ada orang yang mempercayai kita, dik. Maukah kau, anak-cucu kita nanti justru menjadi korban atas kelalaian masa muda kita, dik? Jangan tiru mereka, dik. Orang-orang yang tek pernah memperhatikan kita, jangan tiru mereka, dik.

Rajinlah belajarlah, dik. Kalau keadaan mengharuskanmu untuk 'nakal', nakallah seperlunya, dik. Nakallah terhadap sesuatu yang kau pikir tak pantas ada di dunia ini. Nakallah dengan mengobrak-abrik sistem yang telah menghancurkan kita selama ini, dik. Nakallah dengan ilmu, dik. Nakallah.

Sekiranya kau tahu, dik. Tak ada kesedihan yang pantas lebih ditangisi dari nasib yang kita terima ini, dik. Tapi kau kuatkanlah jiwamu, tahan tangismu. Berpikirlah untuk berbuat sesuatu supaya tak ada lagi yang harus ditangisi. Atau menangislah kau, dik. Menangislah dengan marah. Airmata kemarahan justru bisa menjadi pemicu semangat yang tiada tara, dik.

Begitupun, rajinlah kau berdo'a, dik. Karena sekiranyapun usaha-usahamu nanti tak berbuah hasil yang banyak dan dilupakan orang. Masih ada 'satu hal' yang akan menjadi tempat paling aman untuk berharap, dik

ATAS NAMA CINTA

Atas nama cinta, kau teguk racun.
Sebegitu hina cinta yang kau pahami.
Kau tertekan, cinta yang kau salahkan.
Padahal semua tentang bagaimana kau cara kau memahami itu cinta.


Atas nama cinta, kau tancapkan pisau di punggung sahabatmu.
Sedangkal itukah pemahamanmu atas cinta?
Kau tersakiti, cinta yang kau permasalahkan.
Padahal semua tentang bagaimana kau menyikapi bagaimana itu cinta.

Atas nama cinta, rela kau membunuh rekan study tourmu.
Duh, bodohnya dikau memahami cinta.
Kau salah pilih, cintalah sasaran utama kemarahmu.
Padahal semua tentang kesalahkaprahanmu terhadap siapa kau berkata cinta.

Atas nama cinta, kau jilat muntahan binatang peliharaanmu.
Atas nama cinta, kau pijak-pijak martabat gurumu.
Atas nama cinta, kau pukulkan kayu di pundak anak-anakmu.
Atas nama cinta, kau todongkan senjata di jidak ibumu.

Atas nama cinta, kau caci maki Tuhanmu.

Kamis, 29 September 2016

Siapa Yang Meghina Siapa?

Oke, 'islam dihina'. Banyak cara orang yang dengan kekreatifannya menghina agama ini.
Tapi kalau dipikir-dipikir nih. Ingat ya, dipikir-dipikir. Berarti cuma untuk yang punya otak aja. Yang masih ragu punya otak atau tidak. Mbok yaa minggir dulu

Lebih hina dihina siapa hinanya 'islam' ini?
Orang yang bukan islam, berkata -okelah, kita katakan saja dengan argumen- yang intinya hanya meminta kejelasan keyakinan islam tentang 'keghaiban islam' dengan pembuktian nyata? Sulit memang, bagi saya.

Daripada oleh yang 'katanya islam', ISIS, 'ayahnya si Sayyaf' atau bahkan sebagian orang-orang islam Indonesia yang sok suci tapi sisi premannya nge-gawati yang baru-baru ini membakar vihara?
Kita seharusnya marah, ketika islam 'dihina' dengan logika orang-orang yang diluar islam?
Atau kita senang, ketika islam 'dihina' dengan arogansi ke-mayoritas-an orang-orang islam itu sendiri?

Muslimkah Kita?

Kepada Fir'aun yang sama-sama kita tahu bahwa kejahatannya adalah sejahat-jahatnya kejahatan terhadap Allah dan manusia. Allah tetap saja memerintahkan Nabi Musa dan Harun as. untuk menemuinya dan sekiranya dapat mengingatkannya dengan cara yang lembut barangkali hal itu dapat membuatnya sadar dan takut seperti yang dikabadikan Allah pada surat ath-Thaha ayat 43-44.

Hari ini kita yang mengaku umat Islam yang membangga-banggakan Al-Qur'an. Dan berkata bahwa seharusnya setiap perlakuan kita sehari-hari harus berpedoman terhadap Al-Qur'an. Benar-benar telah menyelisihi 'kalam suci' itu sendiri. Itu merupakan bentuk kemunafikan kita yang sudah tidak bisa kita elakkan lagi saat ini.

Tentang bagaimana kisah-kisah Nabi Muhammad SAW. yang kita akui sebagai tauladan terbaik kita terhadap seorang Yahudi yang setiap hari mengumpat junjungan kita, tapi dengan kasihnya beliaulah orang yang paling peduli dengan seorang Yahudi itu. Bahkan sampai rindu ketika kehilangan 'umpatan' si Yahudi karena sedang sakit. Lalu menjenguknya dan menyuapkan makannya. Sampai ajal orang yang kita akui paling kita cintai itu tiba, sampai Yahudi itu mengucap dua kalimat syahadat. Begitu pesan-pesan yang sampai kepada kita.

Al-Qur'an dan Hadits yang kita akui sebagai buku petunjuk utama kita, kita dustakan sendiri dalam kehidupan kita.

Sekarang, tanya kepada diri sendiri, siapa sebenarnya Allah itu bagi kita? Al-Qur'an dan hadits itu apakah benar menjadi pedoman kita? Siapa sebenarnya orang yang kita akui sebagai Nabi yang bernama Muhammad itu?

Atau muslimkah kita?

Pergaulan dan Keikhlasan

Malam tadi setelah bercerita-cerita tentang ayah seorang teman saya yang mendapatkan hadiah emas dari perusahaan atas pengabdian 25 tahun kerjanya. Sampai kepada pertanyaan saya kepada seorang teman, "gimana kalau kau kira-kira dapat emas 2 batang yang di tempat yang sama ada alamat yang punya, kau apakan emas itu?"

Dia menjawab, "menurut hati nuraniku kubalikkan emasnya." Mendengarkan jawaban seperti itu saya diam saja, hampir tak mengeluarkan ekspresi apa-apa. Seperti seolah-olah tek pernah bertanya apapun.
Tapi dia melanjutkan, "mana tau yang punya emas punya anak cantik yakan? Kan bisa aku dinikahkan sama anaknya, jadi tinggal nunggu bapaknya mati saja."

Mendengar itu kami tertawa, meski semua kami tahu bahwa itu yang akan dikatakannya.
Ya kami tertawa saja seperti lelucon biasa. Itu manusiawi. Pada hal-hal semacam itu anda tak perlu mencaci maki siapapun. Siapa yang tahu bahwa jika benar terjadi dia malah benar-benar ikhlas mengembalikannya.

Hal-hal seperti ini banyak terjadi diantara kita. Dan dengan egoisnya kita selalu merasa lebih baik dan akan melakukan hal-hal yang lebih benar. Padahal siapa yang tahu, bahwa otak kitalah sebenarnya yang paling busuk.

Haruskah Kita Menyerah Atas Kebobrokkan Bangsa Ini?

Rasa skeptis yang selama ini menyelimuti saya terhadap pejabat-pejabat negara ataupun aparat keamanan negara telah membuat saya untuk menjaga diri untuk tidak terlalu banyak berhubungan dengan mereka. Meskipun suatu kali harus benar-benar harus 'bersentuhan secara langsung' saya mencoba untuk benar-benar tidak menunjukkan ketidaksukaan saya walaupun juga tidak menunjukkan hormat yang khusus terhadap mereka. Sikap saya terhadap mereka biasa-biasa saja seperti kepada setiap orang yang berhubungan dengan saya di setiap aktivitas keseharian. Justru di dalam hati saya hanya menganggap mereka sebagai pelayan saya. Sedang saya adalah majikan yang baik.

Mencintai tanah air sudah tertanam sejak lama dalam diri ini. Kebobrokan yang terjadi di negara ini sama sekali belum berhasil untuk menghancurkan itu. Justru sering kali saya merasakan cinta itu semakin tumbuh-berkembang ketika kebobrokan-kebobrokan kian muncul setiap harinya. Itu semua menjadi motivasi untuk tetap berbuat yang terbaik untuk negeri meski tak berdampak berarti bagi negara.

Selama ini kita menyesali, tapi tak pernah berbuat lebih baik. Kita menyadari kesalahan, tapi terus menerus melakukan kesalahan itu. Kita harus berubah, dan kita memang merubah, selalu berubah, kita merubah pemahaman kita terhadap kejahatan-kejahatan di negeri ini, sebagai sebuah perbuatan biasa saja, dan terus melestarikannya.

Dulu kita sedih mengetahui ada pejabat negara yang korupsi, dan menyusun gerakan untuk memakzulkannya. Sekarang kita hanya menganggap hal-hal semacam itu sebagai sebuah lelucon, dan yang terparah, kita menjadi bagian darinya.

Wanita Sebagai Alasan Utama Terjadinya Korupsi, Benarkah?

Aslinya yang bikin korupsi merata di semua lini pemerintahan adalah vagina. Entah dari vagina istri pertama, vagina istri kedua, dan seterusnya, apalagi vagina wanita simpanan. Sebab mau cari alasan apa lagi? Semua koruptor itu orang kaya kok. Malah sudah sangat kaya.

Jangan tertawa dengan gaya bahasa saya. Ini cuma strategi saya untuk melatih anda tidak munafik.
Untuk kaum hawa, ada sebuah nasehat. Semua pejabat yang korupsi mayoritas melakukannya karena desakan sang istri. Sekali lagi, jangan munafik. Si pejabat terdorong korupsi karena sering melihat sang istri BANGGA dan SOK IMUT kalau lihat harta keluarga.

Demi cinta kok.

Namanya harta haram itu pasti bikin si pemiliknya cenderung hal-hal haram. Awalnya korupsi demi sang istri, tapi karena tubuhnya kemasukan makanan haram terus, tubuhnya lama-lama resisten dengan sesuatu yang halal.

Akhirny, PASTI ingin lihat bulu jembut daun muda alias selingkuh.
Air mata buaya, jangankan didengarkan langit, jin-jin yang lihat para istri menangis di atas sajadah, mengeluh dislingkuhi, cuma ngakak, "Goblokmu dhewe, hahaha..."

Para perempuan itu aslinya penguasa para lelaki. Logika para lelaki itu mati kalau dibenturkan dengan cinta. Jadi, jika diantara kalian mempunyai suami yang berkuasa, arahkanlah jabatannya untuk berbuat hal-hal mulia. Misal minta suami tidak korupsi dan menggerakkan kantornya bakti sosial.

Wis percoyo aku. Malah yang kayak gitu itu, kalian, para perempuan, bakal sangat disetiai para suami, meskipun jabatannya makin meninggi. Sebab, kalau manusia suka menolong (bukan pencitraan karena rasa bersalah korupsi lho ya), maka ia akan ditolongNya. Anda akan dipinjamiNya tali suci yang di luar kekuatan manusia sehingga mau suami anda mau digoda dengan artis seksi pakai susuk pun tetap setia.

-Doni Febriando-

Kau Ataukah Aku Yang Pantas Ada Di Surga?

Yang aku tahu dan pahami, tak ada seseorangpun di antara kita yang bisa memastikan siapapun masuk surga atau neraka nantinya. Itu hak yang cuma Allah memilikinya.

Semua orang memang punya salah, justru orang-orang yang paling rindukan Tuhan adalah kembalinya orang-orang yang bersalah itu ke 'jalanNya'. Jadi memang kesadaranmu atas kesalahan itu dan bertaubat merupakan sebuah jalan mendapatkan kasih Tuhan.

Banyak orang-orang yang merdu suaranya melafalkan ayat-ayat Al-Qur'an. Sayangnya ada juga di antara mereka yang memanfaatkan kemerduan suara itu untuk menebar kebencian, mengajak orang-orang untuk mempertikai sesuatu yang bukan merupakan masalah, adu domba demi menghasilkan keuntungan pribadi dan kelompok.

Banyak juga yang merasa lebih dekat hubungannya dalam melakukan teladan dari Rasulullah, padahal sebenarnya jauh sekali perbandingannya. Sebagai perbandingan dasar, Rasulullah itu 'ra'ufur rahiim', yang paling mengasihi di antara kita. Sedang orang-orang yang mengaku itu justru seringkali menghakimi sesuatu tanpa verifikasi. Tentu orang-orang seperti itu hanya menyimpan buruk sangka dan kebencian di dalam dirinya.

Lebih banyak lagi yang merasa baik karena sudah mengikuti tampilan-tampilan arab, berjenggot, gamis, sorban dan sebagainya. Merasa itu adalah cerminan Islam. Padahal Abu Jahal juga seperti itu. Mereka tak paham bahwa islam hanya mengatur cara berpakaian, bukan mengatur pakaian apa yang harus dipakai. Tapi hanya saja, kesombongan menutupi itu semua, dan sampai sekarang merekalah yang mengaku paling benar.

Sekiranya kita dapat mengambil hikmah dari jutaan kisah-kisah kebersahajaan yang sudah terjadi sejak ribuan tahun ini. Bahwa perdamaian itu lebih baik, bersaudara itu kebajikan, saling menghasihi itu modal dasar kasih Tuhan. Dan tanpa kasih Tuhan, pantaskah kita masih berharap surga?

Bukan sedikit-sedikit mengklaim bahwa surga itu milik kami dan neraka milik kalian. Apa yang mau kita katakan nanti ketika Allah membalikkan itu semua?

Sabtu, 12 Maret 2016

KEMEGAHAN

Apa standart kemegahan itu menurutmu, dik?
Apa kepemilikan sebuah rumah mewah? Mobil yang power steering keluaran 2015? Lahan perkebunan yang luasnya ratusan hektar? Apa yang tongkrongannya di kafe yang ‘uang duduk’nya saja ratusan ribu? Minuman dan makanannya yang berbandrol setengah jutaan? Atau apa yang sepatu skate yang dikenakannya berharga jutaan rupiah? Yang singletnya saja 300 ribuan?

Kalau itu yang dijadikan standart kemegahan, dik. Maka, abang, kamu dan milyaran orang di dunia ini jauh sekali dari kemegahan itu. Tapi tak mengapa, dik. Kita akan menciptakan kemegahan-kemegahan lain lewat bakat naluriah kita sebagai manusia, dik. Artinya semua dari kita bebas menganggap apa saja yang kita miliki sebagai sebuah kemegahan. Abang harap adik mulai dapat memahami, bahwa kemegahan tidak selalu tentang harta, mewah, meriah, pongah.

Kemegahan, dik. Kalau kita merunut kepada KBBI, kemegahan itu merupakan sebuah keadaan yang maknanya adalah kemuliaan, dik. Sedang kemuliaan itu adalah keluhuran. Dan keluhuran itu selalu berhubungan dengan ‘baik budi’nya kita. Catat ya dik, ini berarti kemegahan itu adalah tentang apa kebaikan yang telah kita berikan. Tentang nilai-nilai ‘luhur’ yang kita aplikasikan dalam kehidupan kita.

Jadi, dik. Jika nanti adik melihat ada seorang ibu-ibu yang kesusahan membawa barang belanjaannya, dan adik membantunya, itu adalah kemegahan. Adik yang dengan senang hati menuntun seorang nenek nan renta yang sedang menyebrang jalan, itu kemegahan. Sampai ketika adik menyingkirkan batu, duri atau lainnya yang membahayakan dari jalan, itu kemegahan, dik.

Abang harap adik sudah paham benar tentang ini, dik. Jika adik sudah menanamkan sikap ‘sederhana’ di dalam hidup adik. Mulai hari ini jangan takut lagi hidup penuh dengan kemegahan. Kalau orang-orang diluar sana masih menganggap kemegahan adalah tentang harta. Biarkan saja dik. Yang penting bagi kita kemegahan adalah tentang pemberian.

Baiklah dik. Abang pamit dulu, hendak memburu kemegahan-kemegahan yang selama ini dibiarkan berserakan. Ingat ya, dik. Kita adalah orang yang hidup sederhana namun penuh dengan kemegahan.

Salam sayang abang. Sampai jumpa di lain waktu.